Tuesday, January 3, 2012

KEMUNDURAN GERAKAN PERMI DI MINANGKABAU


Oleh: Rahman Soleh, S.Hum

(Lingkar Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Kemundurun Permi sudah mulai terasa setelah para pemimpinnya banyak ditangkap dan diasingkan ke beberapa tempat. Di antara tokoh Permi yang diasingkan yang pertama adalah seorang tokoh perempuan yaitu, Rasuna Said dan tak lama kemudian teman seperjuangannya yaitu Rasimah Ismail. Rasuna Said dijatuhi hukuman lima belas bulan penjara, sedangkan Rasimah Ismail dihukum Sembilan bulan penjara.[1]Keduanya ditangkap setelah berpidato secara berapi-api dan membakar semangat rakyat pada bulan Oktober 1932. Kondisi seperti ini dianggap membahayakan bagi stabilitas politik Belanda di Minangkabau. Mereka ditangkap pada tahun 1932 dan ditempatkan di penjara Bulu Semarang pada akhir tahun 1932. Setelah penangkapan terhadap tokoh perempuan, Belanda mulai menangkapi para tokoh Permi yang lainnya.

Dalam kondisi seperti ini kemudian muncul ordonansi guru dan sekolah liar, sehingga 8 orang guru Thawalib Padang Panjang, yang di bawah supervisi Permi dilarang mengajar. Nasib paling buruk dialami oleh Mukhtar Lutfi, Ilyas Yakub, dan Jalaluddin Thaib. Mereka dibuang ke Digul, Irian Jaya. Mukhtar Lutfi dibuang pada tanggal 11 Juli 1933, Ilyas Yakub pada tanggal 7 September 1933 dan Jalaluddin Thaib pada bulan Oktober 1933. Setelah dari Digul, bersama orang-orang buangan lainnya, mereka dibawa ke Australia sebelum kedatangan Jepang. Para aktivis dan tokoh Permi yang ditahan dan dibuang oleh Belanda berjumlah 55 orang, dengan rincian 45 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.[2]

Selain aksi penangkapan dan pembuangan yang dilakukan Belanda terhadap tokoh-tokoh Permi, mereka juga melakukan penggeledahan terhadap kantor-kantor dan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah Permi, seperti Perguruan Thawalib Padang Panjang, Darul Funun Abasi, Kursus Normaal Islam Putri, dan Madrasah Tsanawiyah Bukittinggi, yang dianggap sebagai sumber agitasi politik Permi.[3] Usaha lain yang dilakukan adalah pelarangan terhadap rapat-rapat yang dilakukan oleh Permi, karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah bentuk penggalangan dan konsolidasi kekuatan partai.

Tindakan keras Belanda ini praktis mematikan pergerakan Permi, karena setelah itu Permi tidak mempunyai aktivitas yang berarti lagi. Mereka melakukan kegiatan bawah tanah untuk memperjuangkan cita-citanya. Akibatnya antara Permi dan kolonial Belanda sering terjadi ketegangan yang gawat.[4]

Dalam kondisi seperti itu, ternyata masih ada harapan untuk mempertahankan pimpinan pusat, sebagai wujud masih adanya kepengurusan Permi. Hal ini menyebabkan tidak terjadi kepanikan pada tingkatan cabang, meskipun itu hanya bertahan sebentar, sebelum akhirnya dibubarkan oleh Belanda. Pada tahun 1933 sidang besar Permi memilih Datuk Palimo Kayo sebagai ketua umum pengurus besar Permi dan sekaligus menjadi pimpinan umum majalah Medan Ra’jat, akan tetapi pada tahun 1934 ia ditangkap dan dipenjarakan di Bukittinggi, lalu dipindahkan ke penjara Sukamulia Medan.[5] Dia diadili dengan tuduhan melanggar artikel 153 kitab Hukum pidana penjara dan dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun.[6]

Pada waktu Datuk Palimo Kayo dipenjara beban Permi bertambah berat. Anggota pengurus besar yang tersisa seperti Duski Samad, Syu’eb el Yutusi, mengundurkan diri dari kepengurusan. Ditambah lagi adanya ancaman dari Belanda yang akan membubarkan partai ini membuat semangat membangkitkan partai ini semakin luntur. Oleh karena Permi mengalami kekosongan kepemimpinan maka tampillah Ratna Sari NE, sebagai ketua pengurus besarnya. Dia berusaha mempertahankan Permi dengan menghapuskan segala aksi politik dari program partai. Ini merupakan suatu kemunduran politik bagi perjuangan politik Permi dalam menghadapi Belanda, tetapi di sisi lain Ratna Sari ini ingin tetap menjaga persatuan dan kesatuan Permi yang sudah terjalin sejak lama dan mempertahankannya meskipun dengan mengubah haluan politiknya. Pada tanggal 29 April 1936, ia mengedarkan pengumuman tentang permintaan pendapatnya apakah Permi dibubarkan atau dihidupkan terus. Reaksi yang timbul dari pengumuman ini, pertama, Permi dibubarkan dan kedua, Permi bergabung dengan partai lain. Menanggapi pendapat tersebut Ratna Sari mempunyai pendapat sendiri dan memutuskan untuk tetap menghidupkan partai ini, tetapi dengan jalan menunda aksi-aksi politiknya, menunjang usaha sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama. Usaha-usaha ini untuk menghindari adanya pelarangan dari Belanda sekaligus untuk kemajuan bangsa dan memperkokoh kembali organisasi Permi ini. Keputusan ini ditetapkan Ratna Sari di Padang, tanggal 10 Juli 1936.[7] Meskipun telah ditetapkan langkah Permi yang baru yakni lepas dari politik, tetapi Belanda tetap tidak mau ambil resiko yang lebih gawat, maka pada tahun 1937 Permi dibubarkan Belanda. Dengan dibubarkannya Permi berarti ruang gerak Permi dihapuskan sama sekali di Minangkabau dan semenjak itu Permi dapat dikatakan bubar.[8]

Berakhirnya organisasi politik Permi ini dalam umur yang cukup pendek, menurut beberapa orientalis disebabkan kerena ada beberapa faktor. Menurut Van Heven bahwa Permi merupakan partai baru sehingga kultur daerah Minangkabau-nya masih tipis, ditambah lagi sifatnya yang emosional, radikal, tidak kritis, pemikiran pemimpinya hanya untuk jangka waktu pendek saja serta mereka tidak bisa menahan diri, mengakibatkan gerakannya tidak maksimal.[9] G.F.E. Gonggrijp, menambahkan bahwa pemimpin-pemimpin Permi belum mempunyai pengetahuan yang luas dan pengalaman yang matang dalam berbagai bidang.[10]Pendapat-pendapat tersebut setidaknya hanya melihat dari kondisi Permi yang kemudian dapat dibubarkan oleh Belanda, namun setidaknya Permi dengan tokoh-tokohnya telah mampu menjadi suatu organisasi besar yang diwaspadai Belanda dan telah banyak belajar kepada organisasi-organisasi lainnya yang telah bekerjasama dengannya.

Permi sebagai salah satu Partai Politik Islam terbesar di Minangkabau saat itu, memang sudah tidak ada lagi di Sumatera Barat semenjak tahun 1937, tetapi cita-cita perjuangannya tetap hidup terus dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh lain dengan cara yang berbeda pula.[11] Dari perjuangannya tersebut, Permi telah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar Minangkabau yang memberi warna perpolitikan Islam dalam melawan kolonial Belanda di Minangkabau dengan ideologi Islam dan Kebangsaan.



[1] Kahin, Dari Pemberontakan, hlm. 68.

[2] Noer, Gerakan, hlm. 174. Lihat juga, Sagimin MD, dkk., Perlawanan dan Pengasingan Perjuangan Pergerakan Nasional (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986), hlm. 58-59.

[3] Daya, Gerakan, hlm. 276.

[4] Suwondo, Sejarah, hlm. 73.

[5] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:Djambatan, 1992), hlm. 753.

[6] Daya, Gerakan, hlm. 277.

[7] Ibid.

[8] Suwondo, Sejarah, hlm. 73.

[9] Daya, Gerakan, hlm. 277.

[10] Ibid.

[11] Suwondo, Sejarah, hlm. 73.

LAHIRNYA PERSATUAN MUSLIMIN INDONESIA DI MINANGKABAU


Oleh: Rahman Soleh, S. Hum

(Lingkar Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Partai politik merupakan salah satu tempat penyaluran aspirasi atau wadah politik masyarakat dalam menyatukan persepsi ideologi serta menjalankan cita-cita bersama. Lahirnya partai-partai politik di Minangkabau tidak bisa terlepas dari sejarah panjang Minangkabau dalam menghadapi hegemoni kekuasaan kolonial yang telah menyengsarakan rakyat. Ada dua peristiwa penting yang menjadi penentu perjuangan rakyat Minangkabau dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda yaitu perang Paderi dan pemberontakan pajak 1908 M.

Sebelum lahirnya Persatuan Muslimin Indonesia di Minangkabau ada peristiwa penting setelah terjadinya penangkapan terhadap tokoh komunisme yaitu adanya kebijakan Belanda tentang Ordonansi guru dan sekolah liar pada tahun 1928 dan 1932 M. Tujuan dari ordonansi tersebut (adalah) untuk menguasai dan mengendalikan sekolah-sekolah agama dan swasta pada umumnya. Para ulama Minangkabau menolak ordonansi tersebut dengan alasan bahwa apabila ordonansi ini diberlakukan maka kemerdekaan menyiarkan agama, bertabligh, mengaji, berpondok, dan apa saja yang terkait dengan urusan agama akan hilang dengan sendirinya.

Adanya Ordonansi guru ini, selain menimbulkan adanya pertentangan dari para ulama, juga adanya pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari terbentuknya aliansi politik menentang ordonansi guru yaitu cabang Muhammadiah yang baru didirikan di Sumatera Barat. Organisasi Muhammadiyah cabang Sumatera Barat ini didirikan oleh Haji Rasul dan dibantu oleh menantunya bernama A.R.St. Mansur yang mengikuti pola induk organisasi di Jawa, yaitu sebagai organisasi sosial dan pendidikan. Muhammadiyah cabang Sumatera Barat ini mendapatkan anggotanya, dari Sarikat Rakyat yang pindah karena menghindari represi oleh Belanda.

Dengan mempelopori terhadap penolakan ordonansi guru, Muhammadiyah mencapai puncak ketenarannya pada tahun 1928 M. Pada waktu yang bersamaan, keberhasilannya tersebut meningkatkan keberanian anggota yang muda-muda dan berpikir untuk mendirikan organisasi sendiri/baru agar lebih leluasa dalam menjalankan aktivitas politiknya. Melihat kondisi tersebut, ketua perwakilan Muhammadiyah Sumatera Barat yaitu A.R. St. Mansur mencopot anggota-anggotanya yang militan untuk meninggalkan Muhammadiyah. Pencopotan ini, digunakan sebagai alasan untuk mereka membentuk wadah organisasi baru yang di beri nama Persatuan Sumatera Thawalib.

Organisasi Persatuan Sumatera Thawalib ini terbentuk pada bulan November 1928 M dalam sebuah konggres[1] yang dihadiri oleh utusan-utusan seluruh Sumatera Thawalib. Tujuan organisasi ini tidak hanya untuk meningkatkan sistem perguruan tetapi juga untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Pada konggresnya yang ketiga[2] di bulan Mei 1930,[3] Persatuan Sumatera Thawalib mengubah dirinya menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI atau Permi),[4] suatu organisasi kemasyarakatan berasaskan Islam dan Kebangsaan, yang kemudian menjelma menjadi partai politik Islam yang radikal.[5] Anggota organisasi ini terdiri dari para bekas pelajar dan guru-guru Sumatera Thawalib yang sejak lama menentang infiltrasi komunis.[6]

Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dalam waktu singkat (dua tahun) setelah berdirinya, berubah menjadi partai politik yang terkuat dan paling berpengaruh di Sumatera Barat, dan dapat dikatakan sebagai partai yang paling mewakili karakter politik kawasan ini dalam periode akhir penjajahan. Salah satu penyebab perubahan menjadi partai politik ini adalah karena tidak adanya saluran politik sebagai akibat tertutupnya Muhammadiyah bagi kegiatan politik.

Perubahan Permi menjadi partai politik dan menggunakan asas yang berbeda dengan asas organisasi Islam yang lain pada saat itu, yaitu Islam dan Kebangsaan, merupakan salah satu indikasi adanya peningkatan dalam bidang gerakan politik di Minangkabau untuk melawan hegemoni Belanda. Menurut Audrey Kahin, penggunaan idoleogi Islam dan Kebangsaan oleh Permi, tidak bisa terlepas dari pengaruh gagasan-gagasan Islam nasionalis Rasyid Ridho. Hal ini diperkuat dengan pulangnya dua cendekiawan Minangkabau tamatan Kairo yang memegang tampuk pimpinan Permi, yaitu Ilyas Yakub dan Mukhtar Lutfi. Kahin juga menjelaskan bahwa pada awal tahun 1920-an, para aktivis perguruan Thawalib tertarik kepada Sarikat Rakyat yang disponsori PKI, sebab pemimpin-pemimpin komunis seperti Tan Malaka dan Haji Misbach dengan cermat menjalankan kesesuaian antara ide egalitarian komunis dengan ide egalitarian dalam Islam. Pada saat itu belum ada partai yang mewadahi keyakinan dan idealisme ajaran egalitarian yang diajarkan di perguruan-perguruan Diniyah dan Thawalib.[7] Melihat kondisi seperti itu maka para tokoh Permi, ingin menerapkan dua ideologi tersebut menjadi satu yaitu Islam dan Kebangsaan.

Menurut Deliar Noer pengalaman-pengalaman tokoh Permi (Ilyas Yakub dan Mukhtar Lutfi) di Mekkah, serta pengamatan-pengamatan mereka tentang pertentangan antara Sarekat Islam dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jawa mengenai masalah agama dan kebangsaan[8], menyebabkan tumbuhnya pemikiran tentang suatu partai politik yang didasari atas asas Islam dan Kebangsaan. Hubungan yang erat antara Permi dan PNI bentukan Soekarno di Jawa, karena memiliki kesamaan ideologi yaitu tentang kebangsaan. Hal ini kemudian diperkuat dengan kontak pribadi antara tokoh-tokoh Permi seperti Ilyas Yakub, Mukhtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib dengan PNI saat pergi ke Jawa.[9]

Menurut Burhanuddin Daya[10] bahwa perubahan Persatuan Sumatera Thawalib menjadi Persatuan Muslimin Indonesia yang kemudian menggunakan asas Islam kebangsaan, sudah dimulai pada saat musyawarah di Batusangkar pada tanggal 20-21 Mei 1929 M. Antara pengurus Thawalib dengan wakil-wakil daerah mulai melontarkan ide perubahan nama Sumatera Thawalib menjadi Thawalib Indonesia.[11] Untuk itu seluruh Thawalib dipersatukan dan ide Thawalib harus disebarkan ke seluruh Indonesia, tenaga-tenaga intelektualnya harus dikerahkan untuk mempropagandakan pemurnian agama dan menentang kolonialisme. Dalam musyawarah tersebut, salah seorang tokoh Thawalib bernama Duski Samad menyatakan, bahwa tujuan yang ingin dicapai Persatuan Sumatera Thawalib adalah menjadi satu organisasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia berusaha keras menuju satu persatuan yang didasarkan atas kebangsaan dan agama serta mendidik pemuda-pemuda agar berjiwa persaudaraan dan kebangsaan.

Hal ini memperlihatkan bahwa rasa kebangsaan yang tumbuh di kalangan Sumatera Thawalib semakin meningkat. Pada tahun berikutnya 1930 M diadakan Musyawarah di Bukittinggi yang merupakan musyawarah lanjutan dari sebelumnya. Mereka mengubah Persatuan Sumatera Thawalib menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI atau Permi). Organisasi yang baru dibentuk ini kemudian membagi kerjanya pada empat bagian yaitu politik (ideologi Islam dan Kebangsaan), sosial, ekonomi, dan persamaan hak kemanusiaan.[12] Perubahan ini merupakan perwujudan dari keinginan kalangan intelektual Sumatera Thawalib untuk mendirikan organisasi nasionalis.[13]

Pada konggres Permi pertama yang dilaksanakan pada tanggal 5-9 Agustus 1930 di Payakumbuh ada 6 cabang yang hadir. Permi menentukan status final organisasi, seperti yang dijelaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Tetangga dituliskan:

Indonesia, which consists of many islands, with its eighty per cent Muslim population, is a part of the Eastern Word. Basing their struggle on the principle of Islam and their nationality, they (the Indonesian Muslims) are striving for progress in order to fight for (their) human rights (which) are expressed in their social order and welfare and dignity.[14]

Permi merumuskan kebangsaan sebagai cara bertindak dan sebagai strategi perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, bukan hanya sekedar landasan berpikir. Kebangsaan adalah jalan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Adapun Islam yang menjadi slogan Permi adalah landasan dan i’tikad perjuangan untuk mencapai kemuliaan Islam. Tanggung jawab manusia terhadap masyarakatnya adalah juga amanat dan amal manusia.[15] Menurut B.H.R Kasim yang dimuat dalam Medan Ra’jat no. 4, menyatakan bahwa Persatuan Muslimin Indonesia sedang mengibarkan panji-panjinya di tanah Minangkabau dengan membawa dasar utama perjuanganya yaitu Islam yang dihiasi dengan kebangsaan, untuk mencapai tujuannya memajukan Islam dengan menaikkan derajat rakyat Indonesia. Dengan adanya organisasi tersebut maka mata rakyat Minangkabau dan bahkan rakyat Indonesia sudah diterangi perasaan Islam yang sejati.[16]

Setelah terbentuknya organisasi Persatuan Muslimin Indonesia dengan ideologi Islam dan Kebangsaan, kemudian menentukan keanggotaanya. Anggota Permi adalah terbuka untuk masyarakat umum.[17] Untuk menjalankan program-programnya Permi mendirikan depertemen-departemen, seperti untuk pendidikan, perekonomian/bisnis, penyebaran Islam, dan kepanduan. Pembentukan departemen tersebut untuk menentukan berdirinya cabang Permi diseluruh bagian Indonesia. Untuk mengobarkan semangat perjuangannya, Permi mengibarkan panji-panji berwarna merah biru dengan gambar keris terhunus dan matahari bersinar.[18]

Setelah diadakan konggres yang pertama, Permi (PMI) kemudian mengadakan sidang pada tanggal 24 Januari 1931 M untuk mengambil keputusan sesuai dengan Anggaran Dasar Fs 10 dan Anggaran Tetangga Fs 4, bahwa pengurus anggota besarnya ditambah dua orang yaitu H. Djalaluddin Thaib dan Duski Samad. Susunan Penggurus Besar Permi yang pertama adalah:

Ketua : H. A. Madjid

Ketua Muda I : Ilyas Ya’kub

Ketua Muda II : Djalaluddin Thaib

Sekretaris I : Darwis Thaib

Sekretaris II : Mansur Daud

Bendahara : H. Syueb el Yutusi

Pemeriksa dan Direktur : Ali Emron Djamil

Pakih Hasjim

H. R. Hamidi

A. Gafar Ismail

Anggota Umum : Duski Samad.

Dengan melihat perkembangan Permi yang sudah diminati oleh orang banyak dan adanya salah seorang Pengurus Besarnya yang sakit yaitu Darwis Thaib dan harus istirahat lama maka untuk memperlancar kegiatan organisasi Permi mengadakan sidang lagi pada tanggal 30 Maret 1931 M di Padang, untuk memutuskan susunan pengurus harian yang baru yaitu sebagai berikut:

Ketua : H.A. Madjid

Ketua Muda I : Ilyas Ya’kub

Ketua Muda II : Djalaluddin Thaib

Sekretaris : Mansur Daud

Bendahara : H.Syu’eb el Yutusi

Penasihat : A. Basa Bandaro[19]

Pada kongresnya yang kedua di Padang Panjang tanggal 24 Oktober sampai 1 November 1931, mereka membicarakan permasalahan pokok tentang elemen Islam Nasionalis dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Orang-orang Permi memahami betul bahwa organisasi politik tanpa agama tidak akan mendapatkan dukungan yang baik di ranah Minangkabau. Oleh karena itu mereka memaklumkan diri sebagai partai politik yang radikal. Dari hasil konggres menghasilkan beberapa keputusan; yaitu pertama, akan diadakan usaha dan propaganda Permi ke luar Minangkabau. Kedua, pendidikan politik dalam organisasi diterima dengan aklamasi, tetapi politik praktis ditolak. Ketiga, Mukhtar Lutfi diterima menjadi anggota Pengurus Besar.[20]

Sejak didirikan pada tahun 1930 M Permi sudah menarik minat aktivis politik Minangkabau dari berbagai kalangan. Partai ini berkembang cepat, pada tahun 1932 anggotanya sudah mencapai 10.000 orang yang tersebar di 160 cabang yakni di Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Ada beberapa alasan orang tertarik dan mendukung Permi yaitu antara lain: pertama, karena ideologinya (Islam dan Kebangsaan).[21] Kedua, non-kooperatif (tidak mau bekerja sama) dan radikal.[22] Ketiga, dasar agama dan nasionalisme.[23]

Pada konggres Permi yang ketiga tanggal 14-19 Juli 1932 M di Bukittinggi dihadiri 26 cabang dan 101 anak cabang putra dan putri. Ada beberapa keputusan penting yang dihasilkan dari konggres tersebut antara lain melakukan perubahan anggaran dasar, penggantian departemen dalam dewan struktur organisasi, memperluas komisi uang dalam dewan kekayaan, membentuk Majelis Pertimbangan Syar’i, dan menerima keanggotaan Ilyas Yakub, Datuk Penghulu Basa, dan Darwis Thaib sebagai dewan redaktur Medan Ra’jat.[24]

Dari konggres tersebut dihasilkan pengurus besar Permi yang baru, yaitu:

Ketua : H. Jalaluddin Thaib

Wakil Ketua : H. Abdul Majid

Sekretaris : Mansur Daud

Wakil Sekretaris[25] :

Keuangan : Asah Juminudin

Komisaris : Ilyas Yakub, Duski Samad dan Tondeh Sutan Mangkuto Alam

Dewan : Pendidikan : Ilyas Yakub

Perusahaan : A Emran Jaman

Penyiaran Islam : HR. Tarmidi

Kekayaan : Tondeh Sutan Mangkuto Alam

Pembantu : Duski Samad, Rasuna Said.

Setelah diadakannya konggres tersebut kemudian Permi juga melakukan konggres singkat, pada tanggal 15-16 Desember 1932 di Padang. Tujuan pokok konggres ini adalah mempersiapkan aksi serentak Permi untuk menolak ordonansi sekolah liar. Pada tahun ini pula Permi menyatakan bahwa sifat organisasinya sebagaimana yang dijelaskan oleh J.M. Pluvier “de Permi zal zijn een radical, non-cooperatieve, politieke organisatie voor de vrijheid van Indonesia”[26] (Permi adalah organisasi politik radikal non-kooperasi sebelum kemerdekaan dari Indonesia). Dalam upayanya mengembangkan sayap organisasi Partainya, Permi mendirikan cabang-cabang baru di Sumatera Tengah, Bengkulu, Tapanulli, dan Aceh. Penyebaran cabang-cabang Permi ini antara lain:[27]

Untuk menyebarluaskan aspirasi perjuangan Permi ke tengah-tengah masyarakat Sumatera Barat, Permi menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Medan Ra’jat. Di Padang, majalah ini berfungsi sebagai salah satu alat propaganda dan penyaluran aspirasi rakyat. Dalam waktu singkat media pers ini dapat memperluas pengaruhnya ke pelosok Sumatera Barat.[28]

Dalam perkembangannya kepengurusan Permi di tingkat cabang dibagi menjadi dua yaitu Permi Putra dan Permi Wanita, tetapi dalam pengurus besarnya dua jenis ini tetap berjalan dalam satu struktur kepemimpinan Permi yang dibentuk dalm konggres partai terakhir. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga persatuan keanggotaan Permi.[29]

Dalam tubuh Permi masuknya tokoh-tokoh organisasi lainnya seperti dari Muhammadiyah, Diniyah, PSII dan lain-lain, telah memberikan pengaruhnya yang besar dalam memperkuat kedudukan Permi di Minangkabau dan dapat menarik anggotanya lebih banyak lagi. Kondisi seperti ini setidaknya masih kondusif ketika Permi belum mengubah haluan ideologinya dalam politik secara terang-terangan (secara resmi). Akibat dari perubahan arah perjuangan tersebut muncul/terjadi perpecahan atau pertentangan pendapat yang pada dasarnya hanya berupa sikap pro dan kontra tentang partai politik ini. Pada dasarnya seluruh ulama muda Islam sama-sama menginginkan kemajuan untuk rakyat Minangkabau khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.[30]

Banyak usaha-usaha yang dilakukan Permi dalam menjalankan roda organisasinya yang bertujuan untuk pembebasan dari kolonialisme yaitu Permi tetap menanamkan peranan yang aktif dalam bidang pendidikan, meskipun orientasi mereka ke arah politik nasional. Permi berusaha mengajak bekerja sama dengan beberapa pihak seperti dengan para pedagang, organisasi-organisasi agama, dan organisasi lainnya yang ada di Minangkabau. Permi juga mensponsori pembentukan “Komite Pembinaan Persatuan” dengan tujuan untuk mendirikan gedung pertemuan nasional, yang permanen. Usaha ini tidak terwujud dikarenakan para pedagang yang diharapkan menjadi sponsor utamanya tidak tertarik mengingat perekonomian di Minangkabau sedang mengalami depresi ekonomi.[31]Usaha-usaha lain yang dilakukan Permi dalam mengintensifkan peranannya diberbagai bidang dalam masyarakat yaitu dengan mengikuti berbagai konggres partai-partai yang memiliki kesamaan pandangan kebangsaan di Jawa maupun di Sumatera seperti mengikuti konggres PNI di Jawa, Partindo, PSII dan lain-lain.



[1] Usaha untuk melakukan konggres ini diprakasai oleh H.Udin Rahmani yang melakukan pertemuan di Parabek, Bukittinggi.

[2] Sebelum diadakan konggres ini telah terbentuk susunan panitia yang bertugas untuk menyiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan konggres. Susunan panitian konggres:

Ketua : Ali Amran

Wakil ketua : H. Udin Rahmani

Sekretaris : DarwisThaib

Pembantu : H. Djalaluddin Thaib.

[3]Cikal bakal berdiriya Permi ini sudah dimulai sejak tahun 1929, dimana organisasi Thawalib memperluas keanggotanya pada semua bekas pelajar dan guru-gurunya. Aqib Suminto menjelaskan bahwa Permi (PMI) berdiri tahun 1929, yang semula merupakan hanya organisasi keluarga Thawalib. Lihat, Suminto, Politik, hlm. 197. dan, Noer, Gerakan, hlm. 59.

[4]Kahin, Dari Pemberontakan, hlm. 58-62. Pada awalnya singkatan untuk Persatuan Muslimin Indonesia ini menggunakan nama PMI, kemudian setelah konggres tahun 1932 nama PMI berubah menjadi Permi.

[5] Daya, Gerakan, hlm. 265.

[6] Abdullah, ed., Sejarah, hlm. 158.

[7] Kahin, Dari Pemberontakan, hlm. 62-63.

[8] Ideologi kebangsaan Soekarno yang di jadikan asas dalam partainya (PNI), berbeda dengan kebangsaan dalam artian sempit, yang mengarah ke ateisme, tetapi pada kebangsaan yang di isi dengan nilai-nilai keislaman. Hal ini lah salah satunya mengapa Permi mempuyai hubungan dengan kaum kebangsaan di Jawa yaitu Soekarno dan PNI nya.

[9] Noer, Gerakan, hlm. 172-173.

[10]Daya, Gerakan, hlm. 264-266.

[11]Ide perubahan menjadi Thawalib Indonesia tidak berhasil dan tetap menjadi Persatuan Sumatera Thawalib.

[12] Medan Ra’jat, nomor 5, tanggal 1 April 1931, hlm. 54.

[13] Daya, Gerakan, hlm. 264-268.

[14] Abdullah, Schools and Politicts, hlm. 131.

[15] Abdullah,ed., Sejarah, hlm. 165.

[16] Medan Ra’jat, nomor 4, tanggal 15 Maret 1931, hlm. 44.

[17]Bambang Suwondo, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1982), hlm. 66.

[18] Daya, Gerakan, hlm. 279.

[19] Medan Ra’jat, nomor 5, tanggal 1 April 1931, hlm. 52.

[20] Daya, Gerakan, hlm. 279.

[21] Kahin, Dari Pemberontakan, hlm. 66.

[22] Daya, Gerakan, hlm. 273.

[23] Suwondo, Sejarah, hlm. 68.

[24] Daya, Gerakan, hlm. 272.

[25]Untuk wakil Sekretaris hasil konggres ketiga Permi tidak ada. Pada konggres sebelumnya wakil Sekretaris diisi oleh Darwis Thaib, tetapi mengundurkan diri dengan alasan sakit, sehingga jabatan tersebut kosong. Seperti yang dituliskan dalam Medan Ra’jat, bahwa pada tanggal 22 April 1931 PB.PMI telah bersidang di Hoofkantoornya, bertepatan dengan datangnya surat pengunduran diri Darwis Thaib dari jabatanya karena sakit. Oleh karena itu dalam sidang tersebut menerima dan memutuskan surat pengunduran diri Darwis Thaib mulai tanggal 22 April 1931. Medan Ra’jat, nomor 6, tanggal 15 April 1931, hlm. 62.

[26] J.M. Pluvier, Overzicht Van De Ontwikkeling Der Nationalistische Beweging In Indonesia: in de jaren 1930 tot 1942 (Bandung:N.V. Uitgeverij W. Van Hoeve, 1953), hlm. 76.

[27] Daya, Gerakan, hlm. 272-273.

[28] Suwondo, Sejarah, hlm. 67-68.

[29]Ibid., hlm. 68. Dalam pengurusan di tingkat cabang ada Permi wanita yang menopang perjuangan Permi dengan jumlah tidak jauh beda dengan Permi Putra. Lihat Daya, Gerakan, hlm. 296.

[30] Suwondo, Sejarah, hlm. 69.

[31] Abdullah, Schools and Politicts, hlm. 133.