Tuesday, January 3, 2012

PENGARUH KOMUNISME DALAM SUMATERA THAWALIB.

Oleh: Rahman Soleh, S.Hum

(Lingkar Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Berdirinya partai Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Minangkabau, telah membawa perubahan besar dalam kancah perpolitikan di Minangkabau, karena partai ini merupakan partai Islam pertama dan terbesar yang ada di Minangkabau dengan asas non-kooperatifnya. Partai ini mendapat dukungan yang cukup besar dari masyarakat. Pada awalnya/semula partai ini merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan yang disebut Sumatera Thawalib. Oleh karena itu anggotanya banyak dari kalangan Sumatera Thawalib sendiri.

Sebelum terbentuknya Permi banyak peristiwa besar yang terjadi di Minangkabau, pada paroh pertama abad ke-20. Berdirinya Syarekat Islam (SI) di Jawa pada tahun 1912, merupakan suatu gejala baru dalam pergerakan Islam. Gejala ini tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial, ekonomi, dan politik pada masa itu. Industrialisasi dan pelebaran sayap jaringan ekonomi kolonial serta perubahan sistem administrasi kolonial telah menambah kemajemukan sosial. Pembagian kerja bertambah kompleks, mobilitas sosial meningkat dan pusat-pusat administrasi yang tumbuh menambah kompleksitas dari kemajemukan itu. Di dalam situasi sosial-ekonomi seperti ini ikatan-ikatan primordial dan watak organik masyarakat sudah tidak lagi memadai bagi pengembangan hubungan sosial dan individu. Saluran-saluran baru diperlukan untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan baru sesuai dengan perubahan tersebut. Saluran baru itu adalah organisasi atau ikatan solidaritas sosial yang dapat menjembatani hubungan antar individu dan masyarakat.[1]

Saluran politik pertama yang ada adalah berdirinya cabang Syarikat Islam (SI) di Minangkabau. Berdirinya SI cabang Minangkabau diharapkan dapat membawa perubahan masyarakat. Pada perkembangannya SI di Minangkabau diwarnai dengan masuknya komunisme yang telah menambah kompleksitas perjalanan politik di Minangkabau.

Selain saluran organisasi politik, di Minangkabau juga terdapat organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, seperti sekolah Diniyah, Sumatera Thawalib dan lain-lain. Sumatera Thawalib merupakan penerus dari sekolah agama tradisional yaitu Surau Djembatan Besi yang dahulu didirikan pada peralihan abad ke-20 oleh Haji Abdullah Ahmad, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Daud Rasidi. Pada tahun 1911 sekolahan ini diasuh oleh Haji Rasul, sekembalinya dari belajar di Timur Tengah. Pada tahun 1918, Dajalaludin Thaib dan Zainuddin Labay mengganti Sekolah-sekolah agama di Sumatera Barat dengan menggunakan nama Sumatera Thawalib dan sampai awal 1920-an telah ada lima sekolah Thawalib.[2]

Masuknya paham Komunisme ke Minangkabau yang dibawa oleh Datuk Batuah, seorang penghulu adat dan ulama muda yang mengajar di Sumatra Thawalib. Sebelumnya ia telah bertemu dengan Natar Zainuddin, di Sigli, Aceh pada tahun 1923.[3] Hal itu menyebabkan beralihnya kesibukan para pelajar dan juga guru-gurunya dari kegiatan menuntut ilmu ke kegiatan politik. Melihat kondisi seperti ini menyebabkan para ulama tua pelopor gerakan pembaruan sangat kecewa dengan perubahan yang terjadi.[4]

Propaganda Datuk Batuah di Sumatera Thawalib mendapat tantangan dari Haji Rasul (Syekh Abdul Karim Amrullah), seorang guru besar di Sumatra Thawalib. Ia tidak hanya menentang terhadap partisipasi muridnya pada kegiatan politik, ia juga menghukum ideologi baru tersebut sebagai sebuah penyimpangan dari ajaran Islam ortodoks.[5] Oleh karena itu Haji Rasul pun dengan sedih harus meninggalkan sekolah yang didirikannya oleh karena perbedaan dengan paham/ ideologi.

Komunisme Islam yang ingin diperjuangkan oleh H. Datuk Batuah dengan kawan-kawannya di Sumatera Thawalib, seperti juga yang dilakukan oleh H. Misbach di Surakarta yang ternyata menjadi “katalisator” persatuan para ulama, kaum tua dan kaum muda, serta penghulu adat. Seperti halnya di tahun 1910-an, ketika gerakan reformis Islam dilancarkan, Sumatera Barat menjadi tempat perdebatan.[6] Gerakan komunis tersebut mendapat reaksi juga dari Pemerintah Belanda dengan melakukan tindakan tegas, yaitu seperti penangkapan terhadap tokoh komunis Islam di Padang, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin pada tanggal 11 November 1923.[7] Pada tahun 1926, Belanda menutup kafetaria pelajar yang bernama Buffet Merah. Tuduhan yang dikemukakan adalah bahwa kafetaria ini merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan komunis. Pada tahun 1927 sebagai akibat pemberontakan Silungkang, banyak guru-guru Thawalib Padang Panjang dilarang mengajar.[8]

Kondisi sekolah Sumatera Thawalib mengalami krisis yang mengarah kepada kemunduran. Situasi ini terjadi setelah terjadinya usaha penangkapan, penahanan, penghukuman, dan pembuangan oleh pemerintah Belanda dilakukan terus menerus terhadap para penggerak komunis yang sebagian besar berasal dari Thawalib. Hal ini diperparah dengan mundurnya Haji Rasul dari kepemimpinan Thawalib. Krisis ini mencapai puncaknya, tatkala gempa bumi melanda kota Padang tahun 1926 M yang menghancurkan sarana fisik sehingga guru-guru berkurang dan minat masuk Thawalib jadi menurun.

Pada kondisi seperti itu tampillah Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim memperlihatkan kemampunanya untuk memulihkan kondisi Thawalib dengan dibantu oleh Duski Samad dan beberapa orang yang masih tersisa. Mereka berhasil melakukan beberapa usaha penting antara lain mempertahankan kualitas pendidikan, membangun gedung sekolah yang hancur akibat gempa bumi dan membersihkan Thawalib dari tokoh-tokoh komunisme sehingga Sumatera Thawalib tetap menjadi pusat pendidikan intelektual Islam.[9]



[1] Abdullah, dkk., ed., Sejarah, hlm. 153.

[2] Abdullah, Schools and politicts, hlm. 34-35.

[3] Pada pertengahan tahun 1923, Natar Zainuddin dan Datuk Batuah membuat pusat Islam-Komunis di Padang. Mereka juga mendirikan International Debating Club dan mempublikasikan jurnal penyemangat Islam-Komunis yang bernama Pemandangan Islam dan Djago-Djago. Dalam forum tersebut mereka mendiskusikan tentang kombinasi sebuah ideologi Islam yang anti kafir dengan doktrin marxis. Mustika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004), hlm. 60 dan Abdullah, Schools and Politicts, hlm. 37-38.

[4] Abdullah,ed., Sejarah, hlm. 156.

[5] Abdullah, Schools and politicts, hlm. 38.

[6] Abdullah, ed., Sejarah, hlm. 157.

[7] Daya, Gerakan, hlm. 249.

[8] Noer, Gerakan, hlm. 57.

[9] Daya, Gerakan, hlm. 250.

No comments:

Post a Comment