Oleh: Rahman Soleh, S.Hum
(Lingkar Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam)
Kemundurun Permi sudah mulai terasa setelah para pemimpinnya banyak ditangkap dan diasingkan ke beberapa tempat. Di antara tokoh Permi yang diasingkan yang pertama adalah seorang tokoh perempuan yaitu, Rasuna Said dan tak lama kemudian teman seperjuangannya yaitu Rasimah Ismail. Rasuna Said dijatuhi hukuman lima belas bulan penjara, sedangkan Rasimah Ismail dihukum Sembilan bulan penjara.[1]Keduanya ditangkap setelah berpidato secara berapi-api dan membakar semangat rakyat pada bulan Oktober 1932. Kondisi seperti ini dianggap membahayakan bagi stabilitas politik Belanda di Minangkabau. Mereka ditangkap pada tahun 1932 dan ditempatkan di penjara Bulu Semarang pada akhir tahun 1932. Setelah penangkapan terhadap tokoh perempuan, Belanda mulai menangkapi para tokoh Permi yang lainnya.
Dalam kondisi seperti ini kemudian muncul ordonansi guru dan sekolah liar, sehingga 8 orang guru Thawalib Padang Panjang, yang di bawah supervisi Permi dilarang mengajar. Nasib paling buruk dialami oleh Mukhtar Lutfi, Ilyas Yakub, dan Jalaluddin Thaib. Mereka dibuang ke Digul, Irian Jaya. Mukhtar Lutfi dibuang pada tanggal 11 Juli 1933, Ilyas Yakub pada tanggal 7 September 1933 dan Jalaluddin Thaib pada bulan Oktober 1933. Setelah dari Digul, bersama orang-orang buangan lainnya, mereka dibawa ke Australia sebelum kedatangan Jepang. Para aktivis dan tokoh Permi yang ditahan dan dibuang oleh Belanda berjumlah 55 orang, dengan rincian 45 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.[2]
Selain aksi penangkapan dan pembuangan yang dilakukan Belanda terhadap tokoh-tokoh Permi, mereka juga melakukan penggeledahan terhadap kantor-kantor dan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah Permi, seperti Perguruan Thawalib Padang Panjang, Darul Funun Abasi, Kursus Normaal Islam Putri, dan Madrasah Tsanawiyah Bukittinggi, yang dianggap sebagai sumber agitasi politik Permi.[3] Usaha lain yang dilakukan adalah pelarangan terhadap rapat-rapat yang dilakukan oleh Permi, karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah bentuk penggalangan dan konsolidasi kekuatan partai.
Tindakan keras Belanda ini praktis mematikan pergerakan Permi, karena setelah itu Permi tidak mempunyai aktivitas yang berarti lagi. Mereka melakukan kegiatan bawah tanah untuk memperjuangkan cita-citanya. Akibatnya antara Permi dan kolonial Belanda sering terjadi ketegangan yang gawat.[4]
Dalam kondisi seperti itu, ternyata masih ada harapan untuk mempertahankan pimpinan pusat, sebagai wujud masih adanya kepengurusan Permi. Hal ini menyebabkan tidak terjadi kepanikan pada tingkatan cabang, meskipun itu hanya bertahan sebentar, sebelum akhirnya dibubarkan oleh Belanda. Pada tahun 1933 sidang besar Permi memilih Datuk Palimo Kayo sebagai ketua umum pengurus besar Permi dan sekaligus menjadi pimpinan umum majalah Medan Ra’jat, akan tetapi pada tahun 1934 ia ditangkap dan dipenjarakan di Bukittinggi, lalu dipindahkan ke penjara Sukamulia Medan.[5] Dia diadili dengan tuduhan melanggar artikel 153 kitab Hukum pidana penjara dan dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun.[6]
Pada waktu Datuk Palimo Kayo dipenjara beban Permi bertambah berat. Anggota pengurus besar yang tersisa seperti Duski Samad, Syu’eb el Yutusi, mengundurkan diri dari kepengurusan. Ditambah lagi adanya ancaman dari Belanda yang akan membubarkan partai ini membuat semangat membangkitkan partai ini semakin luntur. Oleh karena Permi mengalami kekosongan kepemimpinan maka tampillah Ratna Sari NE, sebagai ketua pengurus besarnya. Dia berusaha mempertahankan Permi dengan menghapuskan segala aksi politik dari program partai. Ini merupakan suatu kemunduran politik bagi perjuangan politik Permi dalam menghadapi Belanda, tetapi di sisi lain Ratna Sari ini ingin tetap menjaga persatuan dan kesatuan Permi yang sudah terjalin sejak lama dan mempertahankannya meskipun dengan mengubah haluan politiknya. Pada tanggal 29 April 1936, ia mengedarkan pengumuman tentang permintaan pendapatnya apakah Permi dibubarkan atau dihidupkan terus. Reaksi yang timbul dari pengumuman ini, pertama, Permi dibubarkan dan kedua, Permi bergabung dengan partai lain. Menanggapi pendapat tersebut Ratna Sari mempunyai pendapat sendiri dan memutuskan untuk tetap menghidupkan partai ini, tetapi dengan jalan menunda aksi-aksi politiknya, menunjang usaha sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama. Usaha-usaha ini untuk menghindari adanya pelarangan dari Belanda sekaligus untuk kemajuan bangsa dan memperkokoh kembali organisasi Permi ini. Keputusan ini ditetapkan Ratna Sari di Padang, tanggal 10 Juli 1936.[7] Meskipun telah ditetapkan langkah Permi yang baru yakni lepas dari politik, tetapi Belanda tetap tidak mau ambil resiko yang lebih gawat, maka pada tahun 1937 Permi dibubarkan Belanda. Dengan dibubarkannya Permi berarti ruang gerak Permi dihapuskan sama sekali di Minangkabau dan semenjak itu Permi dapat dikatakan bubar.[8]
Berakhirnya organisasi politik Permi ini dalam umur yang cukup pendek, menurut beberapa orientalis disebabkan kerena ada beberapa faktor. Menurut Van Heven bahwa Permi merupakan partai baru sehingga kultur daerah Minangkabau-nya masih tipis, ditambah lagi sifatnya yang emosional, radikal, tidak kritis, pemikiran pemimpinya hanya untuk jangka waktu pendek saja serta mereka tidak bisa menahan diri, mengakibatkan gerakannya tidak maksimal.[9] G.F.E. Gonggrijp, menambahkan bahwa pemimpin-pemimpin Permi belum mempunyai pengetahuan yang luas dan pengalaman yang matang dalam berbagai bidang.[10]Pendapat-pendapat tersebut setidaknya hanya melihat dari kondisi Permi yang kemudian dapat dibubarkan oleh Belanda, namun setidaknya Permi dengan tokoh-tokohnya telah mampu menjadi suatu organisasi besar yang diwaspadai Belanda dan telah banyak belajar kepada organisasi-organisasi lainnya yang telah bekerjasama dengannya.
Permi sebagai salah satu Partai Politik Islam terbesar di Minangkabau saat itu, memang sudah tidak ada lagi di Sumatera Barat semenjak tahun 1937, tetapi cita-cita perjuangannya tetap hidup terus dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh lain dengan cara yang berbeda pula.[11] Dari perjuangannya tersebut, Permi telah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar Minangkabau yang memberi warna perpolitikan Islam dalam melawan kolonial Belanda di Minangkabau dengan ideologi Islam dan Kebangsaan.
[1] Kahin, Dari Pemberontakan, hlm. 68.
[2] Noer, Gerakan, hlm. 174. Lihat juga, Sagimin MD, dkk., Perlawanan dan Pengasingan Perjuangan Pergerakan Nasional (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986), hlm. 58-59.
[3] Daya, Gerakan, hlm. 276.
[4] Suwondo, Sejarah, hlm. 73.
[5] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:Djambatan, 1992), hlm. 753.
[6] Daya, Gerakan, hlm. 277.
[7] Ibid.
[8] Suwondo, Sejarah, hlm. 73.
[9] Daya, Gerakan, hlm. 277.
[10] Ibid.
[11] Suwondo, Sejarah, hlm. 73.
No comments:
Post a Comment