Friday, December 30, 2011
Wednesday, October 12, 2011
Review book: Historiografi Haji Indonesia
Judul : Historiografi Haji Indonesia
Pengarang : Dr. M. Shaleh Putuhena
Penerbit : LKiS
Tahun : 2007
Jumlah hlm. : xx + 436 halaman
PENGANTAR
Buku berjudul Historiografi Haji Indonesia ini merupakan suatu karya yang bagus dan menarik karena pembahasannya cukup lengkap mulai awal sejarahnya sampai pada hal-hal yang bersifat tata cara pelaksanaan haji itu sendiri, sehingga bagi pembaca yang akan mempelajari haji di Indonesia ini terbantu sekali dengan buku karya Shaleh Putuhena. Dalam pembahasan Historiografi Haji Indonesia, Putuhena menuliskan lebih detail dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakanginya, seperti halnya berbagai pengaruh Belanda dalam pelaksanaan Haji Indonesia, yang notabenya banyaka menceritakan pada abad-abad 19 dan 20.
Pada waktu itu Ibadah Haji menjadi sasaran pengawasan ketat oleh Kolonial Belanda karena telah menimbulkan banyak berbagai pemeberontakan yang dipimpin oleh para ulama di berbagai daerah. Perlu di perhatikan juga dalam buku ini memuat tentang pengaruh ibadah haji terhadap aktivitas perpolitikan di Indonesia sehingga dari kegiatan Ibadah ini dapat melahirkan berbagai semangat perjuangan dengan membentuk berbagai organisasi Islam yang mengarah kepada kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku ini membahas antara lain tentang sejarah Haji, Fakto-faktor yang mendukung perjalanan Ibadah Haji Indonesia, kondisi Haji sebelum abad XX, kegiatan Haji di Hijaz, Manajeman Haji dan hubungan Haji dalam bidang Politik, Ekonomi serta Keagamanan di Indonesia. Dalam setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang dibahas secara jelas sehingga memudahkan dalam memahaminya. Dalam buku ini mulai dari bab I sampai bab VI, lebih mengutarakan tentang Sejarah dan kegiatan Ibadah Haji, sementara pada bab VII sampai bab IX atau terakhir membahas tentang pengaruh kegiatan Haji terhadap berbagai bidang seperti Politik, Ekonomi dan keagamaan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mereview secara singkat tentang buku ini agar memudahkan dalam mengidentifikasi content serta memudahkan dalam memahami isi buku tersebut.
ISI
Dalam review buku ini sistemtika pembahasannya dibagi dalam dua bagian yaitu bagian pertama mulai dari bab I sampai bab VI dan bagian kedua mulai dari bab VII sampai bab IX. Pembagian ini didasarkan pada isi buku yang memiliki karekter berbeda dari dua bagian tersebut. Pada bagian pertama buku ini mengetengahkan tentang sejarah serta kegiatan ibadah haji yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia yaitu pertengahan abad 19, pada bagian ini juga membahas tentang kegiatan Haji yang di lengkapi dengan manajemen haji pada masa-masa kolonial Belanda berkuasa di Indonesia. Kemudian pada bagian kedua berisikan hubungan Haji terhadap bidang politik, ekonomi dan keagaamaan.
Pembahasan bagian pertama dari buku ini adalah bab tentang sejarah haji dalam Islam, kegiatan Ibadah haji sudah ada sejak zaman Nabi Adam, namun aktivitasnya agak berbeda dengan sekarang ini karena ibadah sekarang merupakan warisan dari Nabi Ibrahim. Pada masa Nabi Adam ibadah haji masih sangat sederhana, tetapi esensinya hampir sama dengan haji masa Nabi Ibrahim, hal ini dijelaskan oleh Abu Hurairah yang diperkuat oleh Muhammad bin al Munkadar dan Ibn Abu Lubaid al Madani, Adam melaksanakan haji setelah selesai membangun Ka’bah. Pada masa Nabi Ibrahim pelaksanaan haji sudah mempunyai tata cara dan pelaksanaan haji ( manasik ) yang terurai, terutama tempat dan kegiatan. Kegitan Ibadah haji ini sempat diselewengkan oleh orang Jahiliyah dengan maksud untuk menghindari bulan Muharram, masyarakat Jahiliyah menghitung bulan dengan sistem pergeseran sehingga bulan Dulhijjah akhirnya masuk kedalam bulan Muharram, Safar dan seterusnya. Setelah 24 tahun kemudian ibadah haji kembali kepada bulan Muharram. Setelah Islam lahir yang dibawa oleh Nabi Muhammad, maka kegiatan haji makin sempurna dan lebih baik lagi sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam ibdahnya. Dalam bab ini selain disampaikan tentang sejarahnya juga terdapat ativitas haji yang dilaksanakan seperti sekarang ini dalam hal manasiknya, dan dijelaskan pula syarat-syarat haji serta perkembangan ibadah haji.
Bab kedua adalah membahas tentang faktor-faktor anteseden haji Indonesia, yang membahas tentang awal Islam masuk ke Indonesia dan awal dari kegiatan ibadah haji serta factor-faktor yang mendorong keinginan dari umat Islam di Indonesia untuk pergi ketanah suci, salah satu faktornya adalah adanya hubungan dagang dengan orang-orang dari negara lain seperti Arab, Gujarat dan lain-lain yang telah memberikan pengetahuan baru tentang Islam dengan ibadah wajibnya bagi yang mampu salah satunya adalah ibadah haji. Kegiatan ibadah haji Indonesia sebenarnya sudah ada sejak abad pertama Islam masuk ke Indonesia, tetapi mulai ramai adalah sejak pertengahan abad 19 yang kemudian bertambah ramai setelah di bukanya Terusan Sues. Dari berbagai data bahwa jamaah haji terbesar di Tanah Suci adalah dari Indonesia di banding dengan negara-negara lain yang datang. Situasi semacam ini setidaknya telah memberikan gambaran bahwa Umat Islam di Indonesia mempunyai semangat keagamaan yang tinggi. Faktor lain yang juga mendorong dalam memudahkan ibadah haji ini adalah adanya transportasi pelayaran yang mudah. Kondisi pada abad 18 dan 19 merupakan kondisi yang berat karena adanya aktifitas politik yang tinggi antara kolonial Belanda dengan penduduk pribumi yang menentang adanya penajajahan tersebut. Sehingga di berbagai daerah terdapat pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat yang dimotori ulama daerah melawan kolonial Belanda.
Pada bab III sampai bab V merupakan rangkaian kegiatan Ibadah haji, sebelum abad 20 sampai pertengahan abad 20 dan kegiatan ibadah haji di Hijaz. Ibadah Haji sebelum abad 20, merupakan ibadah yang masih bisa dikatakan belum bersentuhan dengan politik untuk melawan penjajah Belanda melainkan untuk menunaikan ibadah haji sebagai kewajiban umat Islam yang mampu dan untuk memperbaiki keislaman bagi masyarakat di daerah-daerah ulama haji berasal. Tetapi memasuki abad 20 perubahan pemikiran politik orang-orang yang pergi ibadah haji sudah memiliki tujuan untuk belajar disana dan menimba ilmu dari Timur Tengah, sehingga ketika pulang ke Indonesia mereka sudah memiliki bekal yang cukup untuk mempersatukan umat Islam, dalam melawan penjajah dan terjun langsung pada ranah politik Indonesia, serta munculnya organisasi-organisasi politik yang di prakasai oleh para ulama haji ini.
Kondisi semacam ini menimbulkan kekhawatiran dari pihak Belanda sehingga mereka mengawasi lebih ketat lagi adanya ibadah haji yang dapat merepotkan kepentingan politiknya di Indonesia. Salah satu usahanya dengan mengirimkan seorang peneliti tentang Islam yaitu Snouck Hurgronje. Dalam kondisi seperti itu juga dimanfaatkan untuk melakukan pelayanan Haji yang di lakukan Belanda sekaligus untuk mengawasinya. Setidaknya ada empat pihak yang mengurusi dan mengawasi kegiatan ibadah haji tersebut yaitu Kerajaan Usmaniyah, Kerajaan Hasyimiah, Pemerintahan Saudi Arabia, serta terakhir adalah Konsul Belanda yang secara khusus mengurusi perjalanan haji Indonesia.
Masuk pada bagian kedua buku ini adalah bagian tentang hubungan ibadah haji terhadap berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan keagamaan. Secara umum bahwa ibadah haji ini telah memberikan dampak yang signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik, persinggungannya nampak pada aktivitas politik yang terjadi di Indonesia, yang mana banyak pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah serta beridiriya organisasi politik Isalam yang lakukan atau didirikan oleh para ulama haji yang telah kembali ketanah suci. Mereka kembali dari haji tidak hanya dengan kondisi untuk memperbaiki keislamannya saja, tetapi mereka berusaha untuk membangitkan semangat politik Islam agar bersatu untuk melawan kolonial Belanda. Berbagai upaya dilakukan oleh para ulama tersebut, mulai dari pemahaman terhadap ide-ide baru mereka yang didapat dari tanah suci sampai perlawanan fisik yang dilakukan dengan Belanda. Perlawanan dilakukan diberbagai daerah seperti di Minangkabau, yang dipelopori oleh Haji Rasul ( Haji Abdul Karim Amrullah) dan Syaikh Djamil Djambek (1860-1947), yang menentang terhadap kebijakan dalam ordonasi guru serta kebijakan-kebijakan politik lainya yang dianggap mereka sangata merugikan bangsa Indonesia.
Pada bab selanjutnya adalah pengaruh Haji dalam bidang ekonomi. Ada beberapa kebijakan ekonomi kolonial yang pada dekade abad 19 dan 20, yaitu kebijakan Thomas S. Raffles (1811-1816), kebijakan tanam paksa (1830-1870), kebijakan liberal (1870-1900) dan kebijakan etis pada awal abad 20. Kondisi perekonomian yang dialami pihak Belanda menyebabkan menerapkan berbagi kebijakan seperti diatas. Salah satu kebijakan yang ada adalah tentang kebijakan liberal, sehingga memungkinkan untuk melakukan perdagangan bebas dengan berbagai pihak, akibatnya aktivitas perdangan meningkat dan orang-orang semakin bertambak finansial ekonominya sehingga memudahkan mereka untuk melaksanakan ibadah haji, meskipun pada kenyataanya bahwa kebijakan tersebut menyengsarakan rakyat.
Perjalanan ibadah haji yang dilakukan orang-orang pribumi pada awalnya adalah menggunakan maskapai pelayaran yang disediakan oleh Inggris dan pedangang Arab. Kemudian melihat besarnya potensi ekonomi dari usaha pelayaran tersebut, Belanda akhirnya menyediakan transportasi haji, yang antara lain perusahaan Nederland, Rotterdamsche LIoyd dan Oceaan Maatschappij. Kebijakan yang diterapkan oleh Belanda pada pengangkutan haji ini adalah hak monopoli untuk membeli tiket pulang-pergi agar keuntungan ada pada perusahaan Belanda. Selain maskapai itu ada juga firma Assagaf yang berada di Singapura dengan tujuan memberangkatkan tenaga kerja perkebunan Indonesia untuk pergi haji.
Banyak usaha-usaha Belanda yang dilakukan dalam kaitanya dengan ibdah haji selain perjalanan haji, juga adanya kewajiban yang dikenakan terhadap orang yang pulang dari haji untuk mengenakan pakian haji yang disediakan oleh pemerintah Belanda, supaya mereka membeli kepada pihak Belanda. Kehidupan ekonomi orang yang pergi haji pada masa-masa itu merupakan masa yang cukup baik, kaitnya dengan tumbuhnya ekonomi karena adanya perubahan lahan kerja mereka tidak hanya pada sektor pertanian tetapi juga pada sektor perkebunan dan perdangangan. Dengan banyak pekerja-pekerja buruh dengan penghasilan tinggi, sehingga mereka dapat menabung untuk dapat pergi ke tanah suci.
Pada bab terakhir adalah dalam bidang keagamaan. Hubungan antara Haji dengan aktivitas keagamaan sangat dekat mengingat bahwa orang-orang yang pergi haji tidak hanya untuk menjalankan perintah Allah tetapi juga, belajar di Mekkah. Dalam bab ini banyak mengulas tentang pendidikan keagamaan yang ada, baik di Makkah maupun di Indonesia. Para pelopor pendidikan di Mekkah, mendirikan suatu Majelis Syura yang menaungi bagi jamaah haji dari Indonesia yang bermukim di Makkah untuk belajar pada beberapa waktu. Dari hasil pembelajaran tersebut banyak tokoh-tokoh besar yang lahir dan kembali ke Indonesia untuk melakukan berbagai perubahan pendidikan keagamaan maupun pemikiran politik. Oleh karena itu memasuki abad 20, muncul beberapa model-model pendidikan yang di didirikan oleh para jamaah Haji yang telah belajar di Makkah maupun Mesir. Dalam perjalanannya pun mereka kemudian meningkatkan peranannya tidak hanya dalam dunia pendidikan keagamaan, tetapi merambah pada dunia politik yang dirasa perlu untuk perjuangan melawan penjajah.
PENUTUP
Buku Historiografi Haji Indonesia, memaparkan pembahasannya secara kronologis mulai dari sejarahnya yaitu abad pertama Islam masuk ke Indonesia sampai keabad 20, yang menjadi batasan dalam pembahasan ini. Penjelasannya yang jelas, sehingga menjadikan penulisan sejarah haji ini menjadi sumber yang representative bagi pembahasan-pembahasan sejarah Islam di Indonesia abad 19 dan 20, yang lainya. Karya ini memberikan gambaran ibadah haji Indonesia pada masa kolonial yang penuh dengan perjuangan pribumi untuk dapat menunaikan ibadah haji ini. Selain memaparkan perjalanan haji, Shaleh Putuhena juga menjelaskan hubugan haji dengan politik, ekonomi maupun keagamaan, yang mana telah memberikan pengaruh positif bagi perjalanan politik Islam di Indonesia.
Rangakain peristiwa yang ada, di kaitkan dengan kondisi pada saat itu, sehingga pembaca akan mengetahui sejauh mana perjuangan Ibadah Haji Indonesia ke Tanah Suci, mulai dari mengurus izin haji, pemberangkatan sampai pulang kembali ketanah air, dengan membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang baru.
REVIEW BOOK
REVIEW BOOK:
Judul Buku : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII
Pengarang : Azyumardi Azra
Penerbit : Mizan Pustaka, Jakarta
Cetakan : I, 1994
Halaman : 339 halaman
PENDAHULUAN
Buku ini berusaha menjawab perjalanan dan jaringan ulama dari hulu hingga hilir, yaitu dari Timur Tengah yang berpusat di Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Melayu (Nusantara). Walaupun sudah ada penelitian yang menjabarkan tentang jaringan ulama, namun tidak secara rinci mampu mendeskripsikan tentang peranan ulama Melayu dan jaringan ulama internasional.
Dalam bab pendahuluan ini, penulis berusaha menjawab dan mendeskripsikan jaringan ulama Timur Tengah dan kebangkitan jaringan intelektualisme Melayu-Nusantara. Pernyataan ini ditegaskan dengan beberapa pertanyaan penulis yang dikhususkan untuk mengkaji lebih detail jaringan ulama Melayu-Nusantara dan modus kebangkitan intelektualisme di Melayu-Nusantara.
Pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara timur tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan? Kedua, apa peran ulama Melayu-Nusantara dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara? Bagaimana modus transmisi itu? Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab penulis buku dalam lima bab isi buku.
PEMBAHASAN
A. Bab I tentang Kedatangan Islam dan Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah
Bab ini membahas tentang teori kedatangan Islam di Nusantara serta awal mula hubungan muslim Nusantara dan Timur Tengah. Berkaitan dengan teori kedatangan Islam di Nusantara, penulis sebenarnya masih hanya menghadirkan berbagai macam teori kedatangan Islam ke Nusantara serta berusaha mengurai kekurangan dan kelebihan salah satu teori. Namun, tidak secara tegas menganut salah satu teori yang dijabarkan tersebut. Misalnya dalam teori India, bahwa asal muasal Islam di Nusantara berasal dari anak benua India. Teori ini diamini oleh beberapa tokoh seperti Pijnappel, Snouck, Moquette yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dari India, tepatnya Gujarat. Teori ini didasarkan pada temuan bentuk batu nisan di Pasai, kawasan Utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H/27 September 1428 serta anggapan bahwa orang Arab bermazhab Syafi’i yang ada di Gujarat sebagai penyebar Islam ke Nusantara.
Namun, teori ini bukan tanpa kritik, kritikan ini datang dari salah satu tokoh, Fatimi yang meneliti batu nisan di Pasai dan termasuk batu nisan Sultan Malik al-Shaleh dan menemukan bahwa batu nisan tersebut berasal dari Bengal. Walaupun kritikan atas teori Bengal juga datang berkaitan dengan perbedaan mazhab di Bengal, yaitu Hanafiyah.
Sedangakan teori-teori lain tidak jauh berbeda dari teori diatas, yaitu hanya berkutat pada gambaran teori awal serta kritik atas teori yang berkembang tanpa ada justifikasi atas salah satu teori masuknya Islam di Nusantara.
Hubungan awal muslim Nusantara dengan Timur Tengah bisa dilacak lewat hubungan perdagangan. Ada beberapa fase hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara pada fase pertama sejak akhir abad 8 sampai abad 12, pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Fase selanjutnya akhir abad 15, adanya muslim Arab dan Persia melakukan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Setelah itu, pada abad ke 16 sampai paruh kedua abad 17, terjadinya hubungan politik dan berkaitan dengan pertarungan kekuasaan Portugis dengan Dinasti Utsmani di kawasan lautan India.
B. Bab II tentang Jaringan Ulama di Haramayn Abad Ke 17
Bab ini membahas tentang kebangkitan tradisi keilmuan di Haramayn. Pertama, berkaitan dengan berdirinya berbagai madrasah-madrasah di Haramayn. Kedua, perdagangan dan haji. Dalam melakukan ibadah haji, orang tidak hanya melaksanakan ritual ibadah haji sebagai tuntutan agama, rukun Islam kelima. Tetapi sekaligus menuntut ilmu di Haramayn. Bahkan ada sebagian besar para penuntut ilmu dan orang yang berhaji menjadi ulama dan guru di masjid-masjid Haramayn.
Karakteristik dasar jaringan ulama dan transmisi keilmuan adalah terbentuknya hubungan guru-murid secara gradual mengajarkan keilmuannya kepada muridnya. Ini berlaku tidak hanya dalam wilayah Haramayn saja, tetapi juga setelah dia kembali ke tanah kelahirannya. Hubungan semacam ini, pada akhirnya membentuk jaringan intelektualisme yang berskala internasional. Pola penyebaran keilmuan juga dilakukan lewat tarekat dan tasawuf. Seperti tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah dan lain sebagainya.
C. BAB III Pembaruan dalam Jaringan Ulama dan Penyebarannya dalam Dunia Islam yang Lebih Luas
Secara umum, tema dalam bab ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu berkaitan dengan neo-sufisme dan jaringan Asia-Afrika abad ke-18. Neo-sufisme dianggap sebagai sebuah kebangkitan gerakan ulama. Kebangkitan neo-sufisme tidak pernah lepas dari peranan dari para ahli tradisi (ahl al-hadits). Para ahl al-hadits telah memiliki pengaruh kuat dalam mengembangkan dan menanamkan hukum Islam.
Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa para ahli hadits merupakan sosok penting dalam kebangkitan gerakan neo-sufisme. Mereka adalah para perintis neo-sufisme. Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosial dan moral dari masyarakat muslim. Neo-sufisme ini berbeda dengan tasawuf atau sufi. Neo-sufisme lebih mengedepankan pada aktifisme para sufi dalam realitas sosial masyarakat, sementara tasawuf lebih menekankan pada passifisme terhadap realitas sosial, karena laku utamanya adalah menyepi dan menyendiri demi mencapai puncak ilahiyah, bertemu dengan Tuhan. Gerakan tasawuf awal lebih menekankan pada individualisme, sementara neo-sufisme menekankan pada eksistensi masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, karakter neo-sufisme adalah puritan dan aktifisme.
Gerakan neo-sufisme merupakan gerakan kembali pada ortodoksi Islam dengan menekankan rekonsiliasi antara aspek syari’ah dan tasawuf. Neo-sufisme dianggap sebagai gerakan yang mampu membentuk karakteristik pemikiran masyarakat muslim di dunia Melayu-Nusantara. Penyebaran pembaruan Islam lewat neo-sufisme pada akhirnya menghasilkan intensifikasi Islamisme.
Intensifikasi Islamisme di Melayu-Nusantara dapat dilacak dengan hubungan jaringan intelektualisme ke Haramayn, Mekkah dan Madinah. Pada abad ke-17, di Mekkah sedang marak gerakan wahabiyah yang dilancarkan oleh Abd Wahhab. Gerakan wahabiyah menemukan momentumnya, karena banyak ulama yang terlibat dalam jaringan intelektualisme sedang menimba pengetahuan ke Madinah dan Mekkah atau melakukan Haji ke Mekkah. Dapat dikatakan, bahwa gerakan wahabiyah juga terbawa ke Nusantara lewat para ulama yang dalam jaringan ulama internasional.
D. Bab IV Para Perintis Gerakan Pembaruan Islam di Nusantara: Ulama Melayu-Nusantara dalam Jaringan Abad Ketujuh Belas
Ada tiga tokoh perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara yang dijelaskan secara detail dalam buku ini, baik biografi, geneologis keilmuan, sampai perannya bagi jaringan intelektualisme di Nusantara. Ketiganya adalah Nuruddin al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari.
Nuruddin al-Raniry adalah ulama pembaru yang penting dalam sejarah melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji al-Hamid al-Aydarusi al_raniry, dilahirkan di Ranir. Nuruddin adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas meliputi beberapa bidang. Nuruddin mula-mula belajar bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Makkah. Sepulang dari Makkah, ia mendapati pengaruh Syamsuddin al-Sumatrani dan Hamzah al-Fanshuri sangat besar di Aceh. Yaitu paham wujudiyah, ia menganggap pengikut wujudiyah adalah murtad. Dalam pemberantasan terhadap paham tersebut ar-Raniry menempuh cara yang radikal yaitu dengan membakar karya-karya ulama terdahulu.
Pembaruan tersebut didukung oleh Abdul Rauf al-Singkel. Seorang ulama yang lahir di Fansur, di wilayah pantai barat Aceh. Berbeda dengan yang dilakukan oleh ar-Raniry, yang radikal Abdul Rauf malah tekun dan sabar menulis karya-karyanya bagi mendidik umat Islam dan membawa perubahan secara evolusioner. Melalui cara tersebut keretakan yang berlaku sebelum itu dapat didamaikan dan akhirnya secara perlahan pengaruh paham wujudiyah dapat dihapuskan. Dalam hal ini ia menyetujui pandangan ar-Raniry tentang bahayanya pandangan wujudiyah kepada masyarakat, terutama masyarakat awam.
Selain pandangan itu ia menulis karya-karyanya dengan pendekatan yang sederhana dan tidak menggunakan polemik seperti ar-Raniry. Ia menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan ia juga memberi komentar tentang hadist-hadist guna memberi panduan yang jelas pada masyarakat awam. Ia juga menuliskan sebuah tafsir yang lengkap dalam bahasa Melayu, ini adalah salah satu pembaruan yang amat bermanfaat. Dalam bidang fiqih ia juga memberikan sumbangan yang amat bermakna, yakni memperluas bidang pembicaraan yang lebih luas tidak hanya bidang ibadat saja. Hal ini selain memberikan ilmu yang luas dan mendalam turut memperbaiki pemahaman rakyat tentang perspektif fiqih yang sebenarnya.
Melalui usahanya yang gigih itu pengaruhnya telah tersebar ke seluruh Nusantara. Misalnya murid-murid beliau dalam bidang fiqih dan tafsir terdapat di Jawa dan bahagian kepulauan Indonesia yang lainnya. Begitu juga dalam bidang tasawuf, khususnya tareqat Syattariyah turut berkembang ke rantau Nusantara dan masih berkembang hingga kini. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Syaikh Burhanuddin di Sumatera Barat yang terkenal dengan syaikh Ulakan.
Tokoh pembaruan yang ketiga adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari lahir di Goa pada tahun 1627 M. Ia merupakan ulama yang luar biasa dan salah seorang Mujaddid terpenting dalam sejarah Islam di Nusantara. Pengalaman hidupnya menjelaskan bahwa tasawufnya tidak menjauhkan nya dari masalah keduniawian.
Seperti ar-Raniry, al-Singkili di Kesultanan Aceh, al-Maqassari juga memiliki peranan penting dalam politik Banten. Tidak hanya itu, ia pun ikut dalam melawan Belanda setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa. Selanjutnya persinggahannya yang lama di Timur Tengah menjadikan ia mampu melahirkan karya-karya dalam bahasa Arab yang baik. Hampir semua karyanya membicarakan tentang tasawwuf terutama dalam kaitannya dalam ilmu kalam. Meskipun karya dan ajarannya tebatas pada tasawuf ia juga melakukan pembaruan kepercayaan dan amalan kaum muslim di Nusantara melalui pengajaran sufisme yang berorientasi pada syariat. Dalam tareqat, al-Maqassari dikaitkan dengan tareqat Khalwatiyah yang kemudian dikenal sebagai Khalwatiyah Yusufiyah yang berkembang di Sulawesi Selatan.
Ketiga ualama pembaharu diatas adalah para ulama awal Nusantara yang membawa pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada.
E. Bab V Jaringan Ulama dan Pembaruan Islam di Wilayah Melayu-Nusantara pada Abad Kedelapan Belas
Disini, penulis banyak membahas tentang penyebaran gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah yang secara khusus dibawa oleh tiga ulama penting di Melayu-Nusantara, yaitu Al-Palimbani dan ulama Palembang lainnya, Muhammad Arsyad al-Banjari dan Ulama Banjar Lainnya serta Daud bin Abd Allah dan Ulama Patani lainnya. Ketiga tokoh tersebut juga banyak dipengaruhi oleh tiga ulama, yaitu al-Sinkili, al-Raniri dan al-Maqassari.
Al-Palimbani adalah ulama yang paling menonjol dari sekian ulama di Palembang. Peran utama al-Palimbani tidak hanya berkaitan dengan keterlibatan dalam jaringan ulama di Melayu-Nusantara, tetapi juga karena karangannya yang telah menyebar luas dalam masyarakat, baik Nusantara atau Haramayn. Al-Palimbani dalam banyak karyanya, banyak menghimbau masyarakat muslim untuk melakukan jihad di jalan Allah melawan orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang secara intens melakukan penundukan entitas-entitas politik Muslim di Nusantara.
Jaringan ulama di zona Kalimantan banyak berperan dalam proses intensifikasi keIslaman dan transmisi keilmuan, baik dilakukan dengan membangun lembaga pendidikan atau gerakan tasawuf, neo-sufisme. Gerakan lewat pendidikan misalnya banyak dilakukan oleh Muhammad Arsyad al-Banjari, guna melakukan transmisi keilmuan di masyarakat. Sedangkan neo-sufisme, salah satu ulama terkenal adalah al-Nafis yang mengajarkan ajaran sufi dan tasawuf. Gerakan tasawuf tersebut menjadi medan transformasi masyarakat dalam melakukan perubahan, baik sosial atau agama.
Ulama-ulama Patanis sangat berperan sejarah Islam di Patani, Thailand. Daud abd Allah menjadi salah satu ulama yang sangat populer dalam jaringan ulama Melayu-Nusantara. Ia tidak hanya produktif dalam menuliskan pemikiran dan gagasannya tentang Islam, namun juga dalam transmisi keilmuannya. Namun sangat disayangkan, sebagian besar karya al-Fatani banyak dicetak di Timur Tengah. Sementara di Melayu-Nusantara belum banyak dikaji lebih mendalam.
Jaringan ulama abad ke-18 telah memainkan peran penting dalam penyebaran pembaruan Islam yang terjalin antara Melayu-Nusantara dan Timur Tengah. Peredaran karya-karyanya telah mendorong kembali pembaruan Islam di Nusantara.
Dari ketiga ulama diatas, telah mengalir pemikiran neo-sufisme dalam masyarakat. Pemikiran mereka tidak pernah lepas dari persinggungannya dengan kitab-kitab tasawwuf di Haramayn, seperti al-Ghazali, ibn Athaillah, ibn Arabi serta munculnya tarekat-tarekat, seperti Khalwatiyah, Sammaniyah, Naqsabandiyah dan lain-lain. Gagasan tentang jihad disalurkan lewat karya-karyanya.
Bahkan gerakan tasawuf yang awalnya dianggap sebagai factor penggerak dari kejumudan pemikiran Islam, menjadi motor gerakan jihad dan pembaruan radikal dalam Islam. Sehingga tidak salah kemudian kalau Martin van Bruinessen dalam kajiannya tentang tarekat secara eksplisit menegaskan bahwa gerakan tarekat banyak berpengaruh terhadap gerakan perlawanan terhadap Belanda.
Al-Palimbani, al-Banjari dan al-Fatani ternyata juga banyak menyarankan agar melakukan jihad. Al-Palimbani pernah mengirimkan surat anjuran jihad kepada penguasa Jawa, al-Banjari menganjurkan jihad di Kalimantan serta al-Fatani menganjurkan masyarakat Patani untuk jihad melawan penjajah. Di bagian akhir tulisan buku dijelaskan bahwa gerakan Padri merupakan gerakan yang juga dipengaruhi oleh semangat tasawuf di masyarakat Minangkabau.
PENUTUP
Pembahasan dalam buku jaringan ulama ini merupakan telaah mengenai penyebaran pembaruan Islam di Melayu-Nusantara. Pembaruan Islam di Melayu-Nusantara mulai nampak pada abad ke 17. Usaha pembaruan ini semata-mata bukan hanya berorientasi pada tasawuf saja tetapi juga berorientasi pada pembaruan Syari’at. Hal ini merupakan suatu perubahan besar dalam sejarah Islam, dimana pada abad-abad sebelumnya ajaran mistis lebih dominan. Setelah belajar di pusat jaringan Timur Tengah, para ulama secara serentak melakukan kebangkitan gerakan pembaruan yang lebih dikenal dengan neo-sufisme. Neo-sufisme ini berbeda dengan jenis tasawuf sebelumnya. Tasawuf sebelumnya lebih cenderung bersifat pasif sedangkan neo-sufisme lebih pada anjuran untuk aktivisme.
Friday, October 7, 2011
Thursday, October 6, 2011
LEOPOLD VON RANKE: HISTORIOGRAFI
Oleh: Rahman Soleh, S.Hum
PENDAHULUAN
Historiografi secara umum merupakan penulisan sejarah untuk merekonstruksi peristiwa-peristiwa masalampau. Dengan historiografi ini dapat mengetahui peradaban manusia pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu secara kronologis. Dalam perkembangan historiografi Eropa, penulisan sejarah berawal dari masa Yunani kuno sampai modern dengan corak yang berbeda-beda setiap masanya tetapi masih berkaitan satu penulisan dengan penulisan yang lain.
Dalam perkembangan historiografi modern di Barat terdapat seorang sejarawan yang memiliki keahlian dalam historiografi modern, dia adalah Leopold von Ranke, sejarawan dari Jerman yang konstribusinya terbilang besar terhadap perkembangan sejarah modern di Barat. Sehingga menjadikannya sebagai “Bapak” historiografi modern atau dengan kata lain sebagai pengasas era baru pensejarahan modern di dunia Barat.[1]
PEMBAHASAN
Dalam ilmu sejarah dibedakan menjadi dua kegiatan yang membutuhkan metodologi yaitu metode sejarah dan penulisan sejarah. Dengan mempergunakan metode sejarah dan historiografi, sejarawan berusaha merekonstruksi sebanyak-banyaknya dari masa lampau manusia.[2] Ahli sejarah yang meletakan dasar-dasar penelitian sejarah yang bersifat ilmiah adalah Leopold von Ranke, sejarawan besar pada Universitas Berlin, Jerman.
A. Biografi Leopold von Ranke
Leopold von Ranke lahirkan pada 21 Desember 1795, di daerah Wieche, Saxon yaitu wilayah yang terletak di Jerman Timur,[3] dia adalah anak seorang pengacara dan keturunan keluarga teologis.[4] Setelah selesai studi sekolah menengah Schulforta, ia masuk ke Universitas Leipsic, mengambil bidang Teologi dan ilmu-ilmu dari dunia klasik (Yunani-Romawi) dengan mengambil konsentrasi ilmu bahasa (Filologi), penterjemahan dan penguraian teks-teks lama. Kemudian, setelah selesai kuliah, ia bekerja sebagai guru di Gymnasium Friedrichs di Frankfurt an der Oder, selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1818-1825 M.
Minat keilmuan Ranke pada awalnya bukanlah dalam bidang sejarah, melainkan dalam bidang yang menjadi jurusannya ketika masih kuliah yaitu ilmu bahasa, penterjemahan dan penguraian teks-teks lama. Akan tetapi, bidang-bidang tersebut telah memberinya landasan serta dorongan yang kuat untuk terjun dalam bidang sejarah. Minatnya dalam bidang sejarah, itu semakin mendalam, setelah ia menjadi guru di Frankfurt. Sebenarnya pada masa itulah, ia membuat keputusan untuk menumpukkan usaha pengkajian sejarah dan meninggalkan bidang-bidang yang telah dipelajarinya di Universitas dulu. Keputusannya bukanlah semata-mata karena minatnya saja, tetapi juga karena pengaruh dari penulis Sejarawan lain, terutama Niebuhr, Walter Scott dan Herder. Selain itu juga, dipengaruhi oleh unsur-unsur keagamaan.[5]
Dengan perubahan minat itu, ia menghasilkan karya sejarahnya yang pertama dengan judul Sejarah Bangsa-Bangsa Latin dan Tantonik: 1494-1514 ( Geschichte de romanischen und germanischen Volker 1494 bis 1514 ) yang telah diterbitkan pada tahun 1824.Dengan penerbitan ini, ia dikukuhkan menjadi Professor Ekstraordinarius di Universitas Berlin dalam bidang Sejarah. Pada waktu berusia 82 tahun, Ranke mulai menulis apa saja yang dianggap sebagai “Sejarah Dunia”, yaitu menceritakan sejarah perkembangan peradaban Eropa dari zaman Yunani-Romawi kuno sampai akhir zaman pertengahan. Pada hakekatnya “ Sejarah Dunia” yang di maksud itu merupakan sejarah Eropa dalam jangka waktu yang telah di ungkapkan sebelumnya oleh sejarawan yang lain, namun demikian penulisannya yang berjumlah 9 jilid itu, telah mamenuhi cita-citanya sejak muda, yaitu untuk menuliskan sejarah dunia. Ranke sendiri menganggap bahwa karyanya yang terakhir ini merupakan karyanya yang terbesar. Leopold von Ranke meninggal di Berlin pada tanggal 23 Mei 1886 dalam usia 91 tahun.
B. Karya-Karya Leopold von Ranke
Leopold von Ranke telah menghasikan tulisan yang seakan-akan tidak ada putusnya hingga akhir hayatnya. Diperkirakan, ia telah menghasilkan karya sebanyak 63 jilid penulisan sejarah. Salah satu karyanya yang terpenting ialah tulisan pertamanya yang berjudul “Sejarah Bangsa-Bangsa Latin dan Tentonic 1494-1514 (1824) ditulis di Frankfurt, kemudian di ikuti dengan karya-karya lainya, diantara pertengahan tahun 1830-1840 an, ia telah menghasilkan dua penulisan dalam beberapa jilid yang dianggapnya sebagai karya-karya terbaik. Karya-karya itu ialah Sejarah Paus-Paus (1834-1836 M) (3 jilid), Sejarah Islah di Jerman (1839-1847 M) ( 2 jilid = 792 hlm.), Sejarah Prussia (1847-1848 M) (3 jilid), Sejarah Prancis khususnya dalam abad ke-16 dan ke-17 ( 1852-1856 M), Sejarah Servia dan Revolusi Servia (514 hlm.), Teori dan Amalan Sejarah (514 hlm.), Sejarah England, khususnya dalam abad ke-17 (1859-1868 M) (3 jilid), dan yang terakhir adalah penulisan Sejarah Dunia yang di kajinya sampai abad ke- 15, dalam 9 jilid.
Buku karyanya yang pertama berjudul Sejarah Bangsa-Bangsa Latin dan Tentonic ini telah melambangkan sikap kritisnya terhadap sebuah karya sejarah. Pada hakekatnya, buku pertama ini merupakan sejarah politik dan hubungan diplomatik yang biasa saja. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah pandangan-pandangan yang dimuatnya dalam lampiran yang berjudul “Kritik Terhadap Sejarawan Modern”(Zur Kritik Neuever Geschichtsscheiber) yang secara keseluruhan merupakan analisis terhadap sumber-sumber sejarah dikajinya. Analisis itu menunjukkan bahwa sumber-sumber sejarah, seperti teks-teks lama harus dikaji dengan kritik sumber sebelum di terima dan di gunakan sebagai sumber sejarah.[6] Dengan mempelajari sumber-sumber sejarah serta mengujinya menggunakan verifikasi sumber ( kritik ekstern maupun kritik Intern),[7] maka sejarawan akan dapat menentukan keaslian ataupun keshahihan suatu sumber sejarah.[8]
Bagi Ranke, tujuan yang paling utama mengkaji sejarah adalah untuk mewujudkan suatu peristiwa yang dikaji itu seperti fakta aslinya, didasarkan pada sumber-sumber yang ada, seperti sebenarnya yang telah berlaku ( wei es eigentlich gewe sen), dan bukan demi tujuan-tujuan yang tinggi seperti untuk mengadili masa lalu atau kepentingan zaman-zaman akan datang. Ungkapan wei es eigentlich gewe sen, dianggap sebagai tonggak pensejarahan Ranke, sehingga pengikut-pengikutnya menganggap banhwa ungkapan tersebut merupakan tuntutan yang mutlak bagi pengkajian sejarah. Sejak masa Ranke inilah, ilmu sejarah menjadi bagian dari kurikulum Perguruan Tinggi dan berkembang hingga kini dengan berbagai ragam ekspalasi di kalangan ahli sejarah.
Kebanyakan karya-karya Ranke, lebih ditekankan pada bidang sejarah politik dan kegiatan-kegiatan hubungan diplomatik. Ini bukan berarti bahwa peristiwa-peristiwa lain yang “bukan politik”, sebagai bukan peristiwa sejarah. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa sejarah tetapi merupakan bagian dari politik dan kegiatan berpolitik.
Penekanan dalam bidang sejarah politik juga berimbas pada minat serta anutan politiknya. Pada dasarnya Ranke adalah seorang yang bersikap konservatif dari pada segi politik, serta berkeyakinan bahwa negaralah yang memegang tampuk kekuasaan dan bukanlah rakyat. Baginya kekuasaan Negara haruslah berada dalam tangan beberapa pemimpin yang mempunyai kemampuan memimpin serta mempunyai akhlak yang mulia.
Namun demikian, perlu diingat bahwa Ranke bukanlah ahli politik maupun diplomat professional. Ia adalah ahli akademik yang kritis dan melihat perkembangan politik yang berlaku di Eropa sebagai fenomena yang mengancam kestabilan serta tradisi masyarakat Eropa itu sendiri.[9]
C. Konstribusi Leopold von Ranke Dalam Penulisan Sejarah.
Ranke tidak sesekali mengadopsi pendekatan sastra dalam penulisan sejarah yang cenderung membangun ke presentasi klimaks sejarah dan juga membangun tokoh sejarah tertentu yang konstribusinya dianggap menjadi sangat signifikan. Ranke keberatan terhadap filsafat sejarah, khususnya Hegel, yang melihat sejarah itu melalui model-model falsafah atau metafisika tertentu, karena model-model itu mungkin tidak dapat dibuktikan kesejarahanya. Sedangkan metodologi yang di kembangkan oleh Ranke ini adalah penyelidikan secara kritis terhadap sumber-sumber yang akan di gunakan untuk mewujudkan kebenaran sejarah. Disamping menekankan kepentingan dokumen sebagai sumber sejarah, ia juga menekankan perlunya sejarawan bersikap kritis terhadap jenis-jenis dokumen yang digunakan dalam penyelidikan.
Konsep sejarahnya yang seperti itu, telah menyebabkan berlakunya pembentukan konsep sejarah yang dikenal sebagai sejarah yang saintifik. Sejarah yang saintifik sama artinya dengan sejarah itu seratus persen objektif, bahwa kebenaran boleh dibuktikan secara saintifik dan objektif.[10]
Konstribusi lainnya dari Ranke ialah memperkenalkan Seminar dan Quelllinkritik ( kajian yang kritis terhadap sumber-sumber sejarah), sebagai kaidah dalam penelitian sejarah. Seminar dan Quellinkritik, ini merupakan bagian dari pada proses penelitian yang diharapkan dapat menghasilkan karya sejarah yang mengandung peristiwa-peristiwa Wei Es Eigentlich Gewesen (seperti sebenarnya berlaku ) [11]
D. Kelemahan dan Kritikan
Meskipun historiografi modern Eropa yang di asaskan oleh Ranke berkesan sekali, tetapi menjelang tahun 1930an pengaruhnya sudah mulai luntur. Beberapa sejarawan telah menyatakan kesangsian mereka terhadap penulisan sejarah yang tepat yang muncul dari konsep “seperti sebenarnya berlaku”itu. Sejarah yang tepat adalah sesuatu yang mustahil untuk dicapai, Ranke gagal untuk memahami hakikat ini.
Sebenarnya kaidah penyelidikannya sangat mengagumkan, terutama jika di tinjau dari segi amalan-amalan penyelidikan sejarah yang dilakukan pada abad ke 19 dan waktu-waktu sebelumnya di Eropa. Tetapi teknik penulisannya, ataupun eksplanasinya, seperti cara menuliskan catatan kaki, penulisan bibliografi, dan sebagainya masih belum begitu teratur seperti yang ada pada saat ini. Meskipun kaidah kritisnya masih dipakai sampai sekarang ini, namun aliran pensejarahannya yang tertumpu kepada politik dan diplomasi itu telah dianggap sebagai tidak lagi relevan.
Dengan pandangan-pandangan itu, maka H.E. Barnes, kemudian merumuskan empat kelemahan atau kekuarangan Ranke:
- Kegagalan menggunakan keseluruhan sumber-sumber yang boleh didapati bagi sesuatu kajiannya.
- Terlalu menekankan soal-soal politik dan tokoh-tokoh
- Ketaatan keagamaan yang menyebabkan ia memihak kepada teori sejarahnya yang berbentuk ketuhanan.
- Terlalu gairah untuk menuliskan sejarah mengenai Luther, keluarga Hohenzollern dari Prussia.[12]
KESIMPULAN
Leopold von Ranke adalah salah seorang tokoh besar dalam penulisan sejarah modern. Sehingga ia, dianggap sejarawan yang ulung di Eropa pada penghujung kesembilan belas hingga awal abad ke- 20an. Ranke menekankan pentingnya penyelidikan secara kritis dan objektif terhadap sumber-sumber atau dokumen yang akan dijadikan sebagai suumber sejarah.
Leopold von Ranke menekankan pentingnya hubungan antara kepribadian penulis dengan apa yang disampaikannya/di laporkannya. Ranke juga menetapkan bahwa penelitian sejarah ditujukan untuk menetapkan fakta yang benar. Karena menurutnya, apa yang di laporkan dalam sumber sejarah bukan fakta karena hanya merupakan pandangan dari penulis dokumen itu.
Konstribusi yang paling penting bagi pengaruh penulisan sejarah di Eropa pada masa abad 19 an adalah konsep Ranke tentang Wei Es Eigentlich Gewesen (seperti sebenarnya berlaku ), ini menjadi dasar bagi penyelidikan fakta sejarah agar mendapatkan sumber sejarah yang objektif dan kritis. Dengan konsep tersebut sejarah tidaklah dicampur adukan dengan dongeng, mitos, legenda ataupun pandangan-pandangan pribadi yang mungkin palsu dari penulisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
2007
Gottschak,Louis. Mengerti Sejarah, terj.Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan
Penerbit Universitas Indonesia.1975
Usman,Hasan. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana
Depag. 1986
Yusuf, M. Ibrahim. Sejarah Dan Pensejarahan Ketokohan Dan Karya. Malaysia:
Dewan Bahasa dan pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.
1988.
http://www.age-of-the-sage.org/history/historian/Leopold_von_Ranke
[1] M. Ibrahim Yusuf, Sejarah Dan Pensejarahan Ketokohan Dan Karya (Malaysia: Dewan Bahasa dan pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1988), hlm. 276
[2] Louis Gottschak, Mengerti Sejarah, terj.Nugroho Notosusanto ( Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), hlm. 32
[3] M. Ibrahim Yusuf, Sejarah dan Pensejarahan, hlm. 276-277
[4] http://www.age-of-the-sage.org/history/historian/Leopold_von_Ranke.html.
[5] M. Ibrahim Yusuf, Sejarah dan Pensejarahan, hlm. 277
[6] Ibid, hlm. 278-280
[7] Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah ( Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), hlm. 68
[8] Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah ( Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Depag, 1986 ), hlm. 78
[9] M. Ibrahim Yusuf, Sejarah dan Pensejarahan, hlm. 281-284
[10] http://www.age-of-the-sage.org/history/historian/Leopold_von_Ranke.html. lihat juga M. Ibrahim Yusuf, Sejarah dan Pensejarahan, hlm. 286-290
[11] M. Ibarahim Yusuf, Sejarah dan Pensejarahan, hlm. 287
[12] Ibid, hlm. 293-296