Wednesday, October 12, 2011

REVIEW BOOK

REVIEW BOOK:

Judul Buku : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII

Pengarang : Azyumardi Azra

Penerbit : Mizan Pustaka, Jakarta

Cetakan : I, 1994

Halaman : 339 halaman

PENDAHULUAN

Buku ini berusaha menjawab perjalanan dan jaringan ulama dari hulu hingga hilir, yaitu dari Timur Tengah yang berpusat di Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Melayu (Nusantara). Walaupun sudah ada penelitian yang menjabarkan tentang jaringan ulama, namun tidak secara rinci mampu mendeskripsikan tentang peranan ulama Melayu dan jaringan ulama internasional.

Dalam bab pendahuluan ini, penulis berusaha menjawab dan mendeskripsikan jaringan ulama Timur Tengah dan kebangkitan jaringan intelektualisme Melayu-Nusantara. Pernyataan ini ditegaskan dengan beberapa pertanyaan penulis yang dikhususkan untuk mengkaji lebih detail jaringan ulama Melayu-Nusantara dan modus kebangkitan intelektualisme di Melayu-Nusantara.

Pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara timur tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan? Kedua, apa peran ulama Melayu-Nusantara dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara? Bagaimana modus transmisi itu? Ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab penulis buku dalam lima bab isi buku.

PEMBAHASAN

A. Bab I tentang Kedatangan Islam dan Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah

Bab ini membahas tentang teori kedatangan Islam di Nusantara serta awal mula hubungan muslim Nusantara dan Timur Tengah. Berkaitan dengan teori kedatangan Islam di Nusantara, penulis sebenarnya masih hanya menghadirkan berbagai macam teori kedatangan Islam ke Nusantara serta berusaha mengurai kekurangan dan kelebihan salah satu teori. Namun, tidak secara tegas menganut salah satu teori yang dijabarkan tersebut. Misalnya dalam teori India, bahwa asal muasal Islam di Nusantara berasal dari anak benua India. Teori ini diamini oleh beberapa tokoh seperti Pijnappel, Snouck, Moquette yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dari India, tepatnya Gujarat. Teori ini didasarkan pada temuan bentuk batu nisan di Pasai, kawasan Utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H/27 September 1428 serta anggapan bahwa orang Arab bermazhab Syafi’i yang ada di Gujarat sebagai penyebar Islam ke Nusantara.

Namun, teori ini bukan tanpa kritik, kritikan ini datang dari salah satu tokoh, Fatimi yang meneliti batu nisan di Pasai dan termasuk batu nisan Sultan Malik al-Shaleh dan menemukan bahwa batu nisan tersebut berasal dari Bengal. Walaupun kritikan atas teori Bengal juga datang berkaitan dengan perbedaan mazhab di Bengal, yaitu Hanafiyah.

Sedangakan teori-teori lain tidak jauh berbeda dari teori diatas, yaitu hanya berkutat pada gambaran teori awal serta kritik atas teori yang berkembang tanpa ada justifikasi atas salah satu teori masuknya Islam di Nusantara.

Hubungan awal muslim Nusantara dengan Timur Tengah bisa dilacak lewat hubungan perdagangan. Ada beberapa fase hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara pada fase pertama sejak akhir abad 8 sampai abad 12, pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Fase selanjutnya akhir abad 15, adanya muslim Arab dan Persia melakukan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Setelah itu, pada abad ke 16 sampai paruh kedua abad 17, terjadinya hubungan politik dan berkaitan dengan pertarungan kekuasaan Portugis dengan Dinasti Utsmani di kawasan lautan India.

B. Bab II tentang Jaringan Ulama di Haramayn Abad Ke 17

Bab ini membahas tentang kebangkitan tradisi keilmuan di Haramayn. Pertama, berkaitan dengan berdirinya berbagai madrasah-madrasah di Haramayn. Kedua, perdagangan dan haji. Dalam melakukan ibadah haji, orang tidak hanya melaksanakan ritual ibadah haji sebagai tuntutan agama, rukun Islam kelima. Tetapi sekaligus menuntut ilmu di Haramayn. Bahkan ada sebagian besar para penuntut ilmu dan orang yang berhaji menjadi ulama dan guru di masjid-masjid Haramayn.

Karakteristik dasar jaringan ulama dan transmisi keilmuan adalah terbentuknya hubungan guru-murid secara gradual mengajarkan keilmuannya kepada muridnya. Ini berlaku tidak hanya dalam wilayah Haramayn saja, tetapi juga setelah dia kembali ke tanah kelahirannya. Hubungan semacam ini, pada akhirnya membentuk jaringan intelektualisme yang berskala internasional. Pola penyebaran keilmuan juga dilakukan lewat tarekat dan tasawuf. Seperti tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah dan lain sebagainya.

C. BAB III Pembaruan dalam Jaringan Ulama dan Penyebarannya dalam Dunia Islam yang Lebih Luas

Secara umum, tema dalam bab ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu berkaitan dengan neo-sufisme dan jaringan Asia-Afrika abad ke-18. Neo-sufisme dianggap sebagai sebuah kebangkitan gerakan ulama. Kebangkitan neo-sufisme tidak pernah lepas dari peranan dari para ahli tradisi (ahl al-hadits). Para ahl al-hadits telah memiliki pengaruh kuat dalam mengembangkan dan menanamkan hukum Islam.

Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa para ahli hadits merupakan sosok penting dalam kebangkitan gerakan neo-sufisme. Mereka adalah para perintis neo-sufisme. Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosial dan moral dari masyarakat muslim. Neo-sufisme ini berbeda dengan tasawuf atau sufi. Neo-sufisme lebih mengedepankan pada aktifisme para sufi dalam realitas sosial masyarakat, sementara tasawuf lebih menekankan pada passifisme terhadap realitas sosial, karena laku utamanya adalah menyepi dan menyendiri demi mencapai puncak ilahiyah, bertemu dengan Tuhan. Gerakan tasawuf awal lebih menekankan pada individualisme, sementara neo-sufisme menekankan pada eksistensi masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, karakter neo-sufisme adalah puritan dan aktifisme.

Gerakan neo-sufisme merupakan gerakan kembali pada ortodoksi Islam dengan menekankan rekonsiliasi antara aspek syari’ah dan tasawuf. Neo-sufisme dianggap sebagai gerakan yang mampu membentuk karakteristik pemikiran masyarakat muslim di dunia Melayu-Nusantara. Penyebaran pembaruan Islam lewat neo-sufisme pada akhirnya menghasilkan intensifikasi Islamisme.

Intensifikasi Islamisme di Melayu-Nusantara dapat dilacak dengan hubungan jaringan intelektualisme ke Haramayn, Mekkah dan Madinah. Pada abad ke-17, di Mekkah sedang marak gerakan wahabiyah yang dilancarkan oleh Abd Wahhab. Gerakan wahabiyah menemukan momentumnya, karena banyak ulama yang terlibat dalam jaringan intelektualisme sedang menimba pengetahuan ke Madinah dan Mekkah atau melakukan Haji ke Mekkah. Dapat dikatakan, bahwa gerakan wahabiyah juga terbawa ke Nusantara lewat para ulama yang dalam jaringan ulama internasional.

D. Bab IV Para Perintis Gerakan Pembaruan Islam di Nusantara: Ulama Melayu-Nusantara dalam Jaringan Abad Ketujuh Belas

Ada tiga tokoh perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara yang dijelaskan secara detail dalam buku ini, baik biografi, geneologis keilmuan, sampai perannya bagi jaringan intelektualisme di Nusantara. Ketiganya adalah Nuruddin al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari.

Nuruddin al-Raniry adalah ulama pembaru yang penting dalam sejarah melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji al-Hamid al-Aydarusi al_raniry, dilahirkan di Ranir. Nuruddin adalah seorang yang memiliki pengetahuan luas meliputi beberapa bidang. Nuruddin mula-mula belajar bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Makkah. Sepulang dari Makkah, ia mendapati pengaruh Syamsuddin al-Sumatrani dan Hamzah al-Fanshuri sangat besar di Aceh. Yaitu paham wujudiyah, ia menganggap pengikut wujudiyah adalah murtad. Dalam pemberantasan terhadap paham tersebut ar-Raniry menempuh cara yang radikal yaitu dengan membakar karya-karya ulama terdahulu.

Pembaruan tersebut didukung oleh Abdul Rauf al-Singkel. Seorang ulama yang lahir di Fansur, di wilayah pantai barat Aceh. Berbeda dengan yang dilakukan oleh ar-Raniry, yang radikal Abdul Rauf malah tekun dan sabar menulis karya-karyanya bagi mendidik umat Islam dan membawa perubahan secara evolusioner. Melalui cara tersebut keretakan yang berlaku sebelum itu dapat didamaikan dan akhirnya secara perlahan pengaruh paham wujudiyah dapat dihapuskan. Dalam hal ini ia menyetujui pandangan ar-Raniry tentang bahayanya pandangan wujudiyah kepada masyarakat, terutama masyarakat awam.

Selain pandangan itu ia menulis karya-karyanya dengan pendekatan yang sederhana dan tidak menggunakan polemik seperti ar-Raniry. Ia menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan ia juga memberi komentar tentang hadist-hadist guna memberi panduan yang jelas pada masyarakat awam. Ia juga menuliskan sebuah tafsir yang lengkap dalam bahasa Melayu, ini adalah salah satu pembaruan yang amat bermanfaat. Dalam bidang fiqih ia juga memberikan sumbangan yang amat bermakna, yakni memperluas bidang pembicaraan yang lebih luas tidak hanya bidang ibadat saja. Hal ini selain memberikan ilmu yang luas dan mendalam turut memperbaiki pemahaman rakyat tentang perspektif fiqih yang sebenarnya.

Melalui usahanya yang gigih itu pengaruhnya telah tersebar ke seluruh Nusantara. Misalnya murid-murid beliau dalam bidang fiqih dan tafsir terdapat di Jawa dan bahagian kepulauan Indonesia yang lainnya. Begitu juga dalam bidang tasawuf, khususnya tareqat Syattariyah turut berkembang ke rantau Nusantara dan masih berkembang hingga kini. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Syaikh Burhanuddin di Sumatera Barat yang terkenal dengan syaikh Ulakan.

Tokoh pembaruan yang ketiga adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari lahir di Goa pada tahun 1627 M. Ia merupakan ulama yang luar biasa dan salah seorang Mujaddid terpenting dalam sejarah Islam di Nusantara. Pengalaman hidupnya menjelaskan bahwa tasawufnya tidak menjauhkan nya dari masalah keduniawian.

Seperti ar-Raniry, al-Singkili di Kesultanan Aceh, al-Maqassari juga memiliki peranan penting dalam politik Banten. Tidak hanya itu, ia pun ikut dalam melawan Belanda setelah ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa. Selanjutnya persinggahannya yang lama di Timur Tengah menjadikan ia mampu melahirkan karya-karya dalam bahasa Arab yang baik. Hampir semua karyanya membicarakan tentang tasawwuf terutama dalam kaitannya dalam ilmu kalam. Meskipun karya dan ajarannya tebatas pada tasawuf ia juga melakukan pembaruan kepercayaan dan amalan kaum muslim di Nusantara melalui pengajaran sufisme yang berorientasi pada syariat. Dalam tareqat, al-Maqassari dikaitkan dengan tareqat Khalwatiyah yang kemudian dikenal sebagai Khalwatiyah Yusufiyah yang berkembang di Sulawesi Selatan.

Ketiga ualama pembaharu diatas adalah para ulama awal Nusantara yang membawa pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada.

E. Bab V Jaringan Ulama dan Pembaruan Islam di Wilayah Melayu-Nusantara pada Abad Kedelapan Belas

Disini, penulis banyak membahas tentang penyebaran gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah yang secara khusus dibawa oleh tiga ulama penting di Melayu-Nusantara, yaitu Al-Palimbani dan ulama Palembang lainnya, Muhammad Arsyad al-Banjari dan Ulama Banjar Lainnya serta Daud bin Abd Allah dan Ulama Patani lainnya. Ketiga tokoh tersebut juga banyak dipengaruhi oleh tiga ulama, yaitu al-Sinkili, al-Raniri dan al-Maqassari.

Al-Palimbani adalah ulama yang paling menonjol dari sekian ulama di Palembang. Peran utama al-Palimbani tidak hanya berkaitan dengan keterlibatan dalam jaringan ulama di Melayu-Nusantara, tetapi juga karena karangannya yang telah menyebar luas dalam masyarakat, baik Nusantara atau Haramayn. Al-Palimbani dalam banyak karyanya, banyak menghimbau masyarakat muslim untuk melakukan jihad di jalan Allah melawan orang-orang Eropa, terutama Belanda, yang secara intens melakukan penundukan entitas-entitas politik Muslim di Nusantara.

Jaringan ulama di zona Kalimantan banyak berperan dalam proses intensifikasi keIslaman dan transmisi keilmuan, baik dilakukan dengan membangun lembaga pendidikan atau gerakan tasawuf, neo-sufisme. Gerakan lewat pendidikan misalnya banyak dilakukan oleh Muhammad Arsyad al-Banjari, guna melakukan transmisi keilmuan di masyarakat. Sedangkan neo-sufisme, salah satu ulama terkenal adalah al-Nafis yang mengajarkan ajaran sufi dan tasawuf. Gerakan tasawuf tersebut menjadi medan transformasi masyarakat dalam melakukan perubahan, baik sosial atau agama.

Ulama-ulama Patanis sangat berperan sejarah Islam di Patani, Thailand. Daud abd Allah menjadi salah satu ulama yang sangat populer dalam jaringan ulama Melayu-Nusantara. Ia tidak hanya produktif dalam menuliskan pemikiran dan gagasannya tentang Islam, namun juga dalam transmisi keilmuannya. Namun sangat disayangkan, sebagian besar karya al-Fatani banyak dicetak di Timur Tengah. Sementara di Melayu-Nusantara belum banyak dikaji lebih mendalam.

Jaringan ulama abad ke-18 telah memainkan peran penting dalam penyebaran pembaruan Islam yang terjalin antara Melayu-Nusantara dan Timur Tengah. Peredaran karya-karyanya telah mendorong kembali pembaruan Islam di Nusantara.

Dari ketiga ulama diatas, telah mengalir pemikiran neo-sufisme dalam masyarakat. Pemikiran mereka tidak pernah lepas dari persinggungannya dengan kitab-kitab tasawwuf di Haramayn, seperti al-Ghazali, ibn Athaillah, ibn Arabi serta munculnya tarekat-tarekat, seperti Khalwatiyah, Sammaniyah, Naqsabandiyah dan lain-lain. Gagasan tentang jihad disalurkan lewat karya-karyanya.

Bahkan gerakan tasawuf yang awalnya dianggap sebagai factor penggerak dari kejumudan pemikiran Islam, menjadi motor gerakan jihad dan pembaruan radikal dalam Islam. Sehingga tidak salah kemudian kalau Martin van Bruinessen dalam kajiannya tentang tarekat secara eksplisit menegaskan bahwa gerakan tarekat banyak berpengaruh terhadap gerakan perlawanan terhadap Belanda.

Al-Palimbani, al-Banjari dan al-Fatani ternyata juga banyak menyarankan agar melakukan jihad. Al-Palimbani pernah mengirimkan surat anjuran jihad kepada penguasa Jawa, al-Banjari menganjurkan jihad di Kalimantan serta al-Fatani menganjurkan masyarakat Patani untuk jihad melawan penjajah. Di bagian akhir tulisan buku dijelaskan bahwa gerakan Padri merupakan gerakan yang juga dipengaruhi oleh semangat tasawuf di masyarakat Minangkabau.

PENUTUP

Pembahasan dalam buku jaringan ulama ini merupakan telaah mengenai penyebaran pembaruan Islam di Melayu-Nusantara. Pembaruan Islam di Melayu-Nusantara mulai nampak pada abad ke 17. Usaha pembaruan ini semata-mata bukan hanya berorientasi pada tasawuf saja tetapi juga berorientasi pada pembaruan Syari’at. Hal ini merupakan suatu perubahan besar dalam sejarah Islam, dimana pada abad-abad sebelumnya ajaran mistis lebih dominan. Setelah belajar di pusat jaringan Timur Tengah, para ulama secara serentak melakukan kebangkitan gerakan pembaruan yang lebih dikenal dengan neo-sufisme. Neo-sufisme ini berbeda dengan jenis tasawuf sebelumnya. Tasawuf sebelumnya lebih cenderung bersifat pasif sedangkan neo-sufisme lebih pada anjuran untuk aktivisme.

No comments:

Post a Comment